#Tujuh tahun yang lalu #2

1.4K 58 4
                                    

Gerimis mengguyur area jalan A Yani Surabaya. Nggak tau kenapa, seperti semesta paham bagaimana suasanaku dengannya sekarang. Canggung membendung, ditambah aura hujan yang tak kunjung datang.

Aku sudah terlalu bingung mencari apa saja yang bisa kubicarakan dengan pria ini. Namun sepertinya dunia sedang tidak mengingkannya. Perasaan yang terpaksa ini memang membuat tidak nyaman dan kapan saja bisa membeludak. Masih sebentar saja rasanya sudah tidak betah, aku sudah tidak berani membayangkan bagaimana harus menahan ini lebih lama lagi.

Gerbang Liberty School sudah nampak jelas. Banyak mobil terparkir, pemiliknya, hanya sekedar melihat pendaftaran-pendaftaran atau pengumuman untuk bagaimana masuk ke sekolah itu.

Aku turun dan memasuki area sekolah sembari merapatkan cardigan berwarna kuning pudar ini. Berjalan dengan lambat karena sejujurnya aku malu harus berdampingan dengan Alvaro. Parasnya membuat banyak orang mengagumi dan hal tersebut jelas membuatku merasa minder.

"Al!" Suara baiton menggema di sekitarku.

"Yoi Jo! Mereka ber-tos ria sambil menembelkan pundak. Temannya yang disebut 'Jo' ini melihatku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

"Adek lo?" Tanyanya.

"Bukan, cewek gue nih." Nggak tau kenapa setelah mengatakan itu, perutku bergejolak. Tidak tidak, bukan seperti kata mereka yang terdapat kupu-kupu. Namun, lebih ke... kesal? Karena 'Jo' sangat tampan! Bisa saja dia mendekatiku saat Alvaro mengatakan aku saudarinya.

***

Setelah berkumpul dengan rombongan sekolah yang baru datang, aku kembali menghampiri Alvaro yang katanya sudah menungguku di kantin. Tentu saja aku hanya berdua dengan Qila.

"Mas iyan ganteng, ya?" Celetuk sahabatku yang mulutnya tak bisa dikontrol ini. Bagaimana jika ada yang dengar, apa dia tidak malu?

"Masa sih, enggak ah."

"Iya tau! Badannya bagus gitu, atletis hahaha."

"Lihat dari mana lo anjir gila!"

"Ih itu keliatan banget kali Vi, makanya, jangan cuma keliatan Alvaro aja. Temennya juga cakep cakep."

"Bocah banyak bacot."
"Ngaca, lo juga bocah."

Perbincangan kita terhenti ketika melihat peristiwa yang sepertinya 'nggak banget' buat kita tonton sekarang.

Gadis berbando merah muda sedang berhadapan dengan beberapa orang lainnya. Menurutku, satu lawan banyak nggak fair banget.

"Masa itu bullying sih Vi?"
"Mana gue tau, kita coba lihat dulu aja deh."

Qila memutuskan buat duduk sebentar di bangku dekat loker. Nggak tau kenapa, kasihan sekali lihat anak berbando merah muda itu.

Tampak sangat ketakutan menghadapi beberapa temannya yang sedang menatap sengit.

"Elo tuh miskin nggak usah sok-sok an bawa mobil segala! Sekolah beasiswa aja bangga !"

Aku menutup mulut, kaget! Kok bisa ada manusia yanh setega itu. Dengan tekat penuh, ku langkahlan kaki mendekati para jejeran remaja kurang kerjaan yang menherubungi satu orang gadis.

"Kak maaf itu gak sopan banget."
"Vi!"
"Diem Qil." Sanggahku kepada Qila yang menarik-narik cardigan kesayanganku. Kalau molor gimana!

"Siapa lo?" Tangabnya sedikit membuka cardigan milikku.
"Oh masih SMP, nggak usah ikut ikut urusan gue. Pergi sono."

"Minggir, kak, lepasin kakak yang itu."
"Gue udah kasih peringatan ya. Minggir atau lo bakal gue tandain?"
"Gue nggak takut."

Tangannya tiba tiba melayang. Aku rasa, ia akan menyerang fisikku. Aku sendiri nggak tau kenapa masih banyak manusia semacam gadis jahat ini.

Semeste sepertinya sedang berpihak kepada kubuku dan gadis malang disana, karena suara bel telah berdering nyaring. Mungkin waktunya pulang atau apa entahlah.

"Inget, gue nggak bakal lupa sama lo, Viona."

-

"Dia itu, anak pentolan di sini, nggak ada yang berani cyinn!"
"Pentolan apaan, cilok kali."

Semenjak aku dan Qila duduk di antara para lelaki ini, semua mata tertuju padaku.

Rafi dan Adryan.

Kedua pemuda itu benar benar baik menurutku. Karena selama aku mengenal mereka beberapa bulan ini, tak ada satupun yang menunjukkan jika mereka tak suka padaku.

Motto hidupku, kamu baik, berarti kamu tidak jahat.

Untuk sekarang, nggak tau gimana kedepannya semua akan berubah atau enggak.

Yang ada dijalani dulu, suka dijalankan, nggak suka ditinggalkan.

Tapi kadang, manusia sangat nggak suka ditinggalkan walaupun tanpa sadar ia sering meninggalkan. Semesta dan tuhan adalah perpaduan istimewa yang hampir sempurna, mereka adalah kompromi yang kadang disyukuri, namun sering kali disesali.

Sepertiku saat ini.

"Cantik, beh, dadanya gede gila!"
"Kak Rafi ih!"
"Apasih neng Qila? Hehehe."
"Nggak sopan."

Setelah itu, aku memutuskan kembali pulang menuju rumah. Tidak bersama Alvaro, karena aku yakin beripu persen bahwa ia tak akan mau repot-repot mengantarku.

"Kenapa?" Kutanya waktu itu karena ia tiba-tiba berhenti berjalan saat sesudah mengantarku membeli buku.

"Aku nggak bisa nganter kamu pulang."
"Kenapa?" Kuulangi lagi.
"Kamu yakin sama hubungan kita?"
"Kenapa enggak?" Ia malah tersenyum hangat.

"Pulang sendiri ya? Aku nggak mau kamu bergantung sama aku."
"Terus ngapain dong kamu disini? Tau gitu aku pergi sendiri."
"Besok kalau kita habis nikah, aku kan kerja. Kamu harus bisa mandiri."

Aku tersenyum puas dengan semua perkataannya. 

W(A)ITING [ON EDITING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang