Prolog Teror

7.1K 217 9
                                    

by Johan

BANYAK orang mengiranya sudah mati, tapi tidak demikian halnya bagiku.

Ya, aku memang melihatnya terapung-apung di kolam itu, pucat dan bengkak, dan sama sekali tidak mirip dengan anak perempuan yang pernah kukenal. Aku juga hadir dalam pemakamannya, melihatnya berbaring dengan sopan di dalam peti mati, peti yang kemudian ditutup dengan rapat dan dikuburkan empat meter di bawah permukaan tanah. Aku melihat banyak orang menangisinya, mata-mata penuh air mata kesedihan yang kemudian berubah marah saat menatapku. Mata-mata yang mengatakan satu hal yang sama.

Kau sudah membunuhnya.

Itu kecelakaan, begitulah pembelaan diriku selama ini. Aku tidak mendorongnya—dia sendiri yang jatuh ke dalam kolam. Aku bahkan berusaha menolongnya, hanya saja dia terlalu panik untuk menerima pertolonganku. Aku berusaha melupakan rasa puas yang sempat memenuhi hatiku, saat melihatnya berhenti berusaha untuk hidup.

Pokoknya, itu bukan salahku.

Lalu ibuku bunuh diri, meninggalkan catatan bahwa dia tidak sanggup hidup bersama anak yang sudah membunuh anak perempuannya. Apakah ini berarti aku bukan anakmu juga, Mama? Pikiran ini menyakitiku, siang dan malam, baik saat aku terbangun maupun di dalam mimpiku. Aku menyadari bahwa aku mulai terpisah dari dunia ini. Semua orang mengucilkanku. Ayahku bahkan membawaku tinggal di rumah terpencil di luar kota, tempat di mana kami tidak perlu menghadapi pandangan menuduh para tetangga dan teman keluarga. Namun ayahku juga sangat sering meninggalkanku sendiri. Katanya dia harus pergi ke luar negeri untuk bekerja. Hah, alasan.

Dan pada saat aku sendirian, dia pun muncul lagi.

Tak ada yang berubah pada dirinya. Tak ada bekas-bekas kematian yang terlihat pada dirinya. Dia tampak sama seperti dulu—cantik, menggemaskan, dan membuatku muak setengah mati. Tapi aku tahu lebih baik. Dia sudah mati. Yang kuhadapi ini hanyalah hantunya.

Lalu kenapa ada jejak-jejak kehidupannya di sekitarku? Susu yang hanya dihabiskan separuh. Boneka Barbie di dalam kamarku. Rasa pedas di tanganku saat aku menamparnya.

Ini hanya berarti satu hal.

Dia masih hidup.

Aku tidak tahu bagaimana penjelasannya. Mungkin dia hanya pura-pura mati saat dikuburkan. Mungkin ayahku berusaha menyembunyikannya dariku. Mungkin juga seluruh dunia berkonspirasi untuk menipuku.

Semua orang mengiraku goblok, mereka sama sekali tidak menyadari bahwa aku sudah mengetahui tipu daya mereka.

Tak heran aku jadi marah sekali. Kulampiaskan emosiku dengan bersikap kejam padanya. Aku memukulinya habis-habisan, sampai tubuhnya berdarah-darah dan tenagaku terkuras habis, sampai aku tidak sanggup bangun selama dua hari. Aku mengosongkan kulkas dan membiarkannya kelaparan, namun belakangan kusadari dia tidak butuh banyak makan, dan keterbatasan makanan di rumah malah hanya menyusahkan diriku sendiri. Aku bahkan mendorongnya ke tengah jalan supaya ditabrak mobil, tapi entah bagaimana, akulah yang terjatuh dan akulah yang nyaris ditabrak mobil.

Lambat laun, aku tersadar. Apa yang sudah kulakukan? Seharusnya aku membalas dendam pada dunia yang sudah menghakimiku dengan kejam, bukannya mengurusi si cecunguk kecil tak berharga ini. Jadi aku pun belajar untuk menerima kehadirannya, mengacuhkannya, menganggapnya hanyalah salah satu benda mati yang tidak perlu kupusingkan. Sesekali, kalau aku sedang kesal, kugunakan dia untuk melampiaskan kemarahanku. Yah, biarpun tak berharga, dia punya kegunaan juga.

Aku tidak pernah bertanya-tanya kenapa semakin hari aku semakin bertambah tinggi dan besar, sementara dia tetap anak kecil yang sama seperti bertahun-tahun lalu.

Johan SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang