The Ending

5.1K 367 78
                                    


Sebuah tamparan bukan berarti benci.

Sama seperti sebuah ciuman yang bukan berarti takkan berkhianat.

-anonim-

****


Rayya

Jika kita bisa memilih takdir, maka kita pasti memilih yang terbaik. Nggak ada yang namanya kita milih takdir yang nggak kita inginkan. Apalagi takdir yang nggak enak semacam perselingkuhan itu.

Makin aku menjauh dan bersikeras pisah dari Gandhi, nyatanya hatiku justru makin kosong. Aku makin bingung ke mana harus kuarahkan jiwaku.

Ibarat permainan, ini nanggung sekali.

Membalas semua sakit hati dan mengembalikan harga diriku yang diinjak-injak Gandhi karena perselingkuhan itu penting. Apalagi aku sudah berjalan sejauh ini.

Tapi kenapa pemikiran bahwa nggak ada Gandhi lagi di sisiku justru nggak membuatku bahagia?

Berpisah dengannya kenapa jadi susah begini. Padahal bukankah aku melakukan semua permainan ini demi terbebas dari dia?

Aneh sekali. Bukankah seharusnya aku bisa senang semua telah berakhir. Betulkah itu yang diinginkan olehku sendiri?

Gandhi melingkupkan tangannya menyelimuti tubuhku. Mendekap tubuhku erat. Ini mungkin menjadi dekapan di ranjang kami yang terakhir.

Ah-

Kenapa harus sesesak ini.

Bundaaaaa...

Kenapa mencintai Gandhi jadi sengsara begini.

Kenapa dia harus pakai acara selingkuh segala. Kenapa? Kenapa?! Kenapa!?!

Gandhi bergerak, lalu lampu menyala.

"Kamu, nangis?" Katanya hati-hati.

Ada kekhawatiran dan rasa sedih yang kutangkap dari getaran suaranya.

Bukannya mereda tangisan tanpa suaraku justru menjadi isakan kecil yang lolos dari bibirku. Bersamaan itu, butiran-butiran air mata yang mati-matian kusembunyikan jebol sudah.

Gandhi diam, menatapku dengan pandangan yang terlihat sendu dan menyakitkan.

"Maaf." Suaranya serak.

Tapi satu kata itu saja sudah membuatku sakit hati. Kenapa dia memilih kata itu?! Kenapa dia nggak memohon aku untuk berhenti dan memafkannya lagi. Kenapa dia nggak berjuang buat dapetin aku lagi. Rasanya sebal, marah-

Jancuk!

Oalah Ndiiikkk-

Kenpa harus kata yang buat hatiku tambah sakit!

"Aku nggak bisa memperbaiki masa lalu, Ray..." dia menahan kata-katanya. "Karena takdir nggak bisa di lawan."

Nah! Bangsat kan si Gandhi itu. Setelah aku galau nangis begini ngode buat diperjuangin, dia malah nyerah. Aku nggak menanggapi omongannya dan masih melanjutkan tangisanku.

RayyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang