Aku menatap bangunan tua itu. Bangunan itu berlantai dua dan belum jadi, juga terlihat terbengkalai. Rasanya tidak mungkin jika anak sial itu berada disini sekarang, tapi mengingat pesan yang ia berikan itu membuatku melangkahkan kakiku ke dalam gedung itu dengan mantap, sebelum pikiranku berubah.
Aku berlari menaiki tangga hingga tiba dilantai tiga atau rooftop. Di tangga teratas ini, ada bangunan kecil, jadi kalau mau keluar, harus melewati pintu kayu berwarna hitam ini. Karena aku takut gelap sekaligus ruang sempit, aku buru-buru mendobrak pintu itu. Kupikir, pintu itu terkunci, tapi ternyata tidak. Alhasil, aku terjungkal ke depan dan hampir mencium lantai ang tak bisa disebut lantai karena memang tak ada satupun keramik yang menempel disana. Jika saja tidak ada 'sesuatu' yang menangkapku hal 'berciuman' dengan lantai tak jadi itu pasti terjadi.
Beberapa saat setelah orang itu menangkapku aku mengalami deja vu, kok rasanya aku pernah mengalami hal serupa? Beberapa detik kemudian aku langsung menarik tubuhku.
Aku menatap cowok sial itu. Wajahnya memang babak belur, entah darah, tanah apapun itu menempel diwajahnya. Tapi, selain itu, dia baik-baik saja. "Kamu nggak sekarat!" kataku sambil memukul dadanya dengan tinju terbaikku.
Dia langsung mengusap-usap dadanya sambil mengaduh. "Apa-apaan, sih?! Baru dateng udah main pukul!"
"Kamu nggak sekarat!" ulangku dan berniat meninjunya lagi, tapi ia menangkap tanganku.
"Siapa bilang aku sekarat?!" tanyanya dengan nada marah.
"Bego, ya?! Kamu yang ngirim beginian ke aku!" kataku lalu menunjukkan hpku tepat didepan wajahnya. Ia memundurkan wajahnya lalu merebut hpku dengan kasar. Dia membacanya lalu raut wajahnya berubah menjadi bingung.
"Aku nggak pernah ngirim beginian." Ujarnya lalu menyodorkan kembali hpku.
"Terus siapa?! Kucing?!"
"Dih, dibilang bukan!"
"Terus hp kamu ngetik sendiri, gitu?!"
"Dibilang bukan!"
"Terus siapa?!"
Dia terdiam. "Itu paling temen aku."
Saat itu, entah apa yang bisa kulakukan untuk memperlihatkan betapa marahnya aku. Rasanya mau meledak saat itu juga. Hari ini, adalah Langit pertama kali datang ke rumahku, oke, dia memang pernah datang sekali, tapi yang ini anggap saja kunjungan formal. Tapi, mau marah juga bagaimana?! Dia kan dikerjai temannya! Tapi aku benar-benar mau marah sekarang. "Kenapa diem aja?"
"Apanya?!"
"Biasa aja kali. Mumpung kamu udah disini, sekalian ajak aku makan, dong."
"Ajak makan gimana?! Kamu tau tadi tuh aku ada janji penting-super penting, yang lebih penting dari Rapat Paripurna, dan aku harus ninggalin itu karena kamu! Bayangin, dooooong! Lain kali jangan main-main!" sumpah rasanya aku mau menangis sekarang. Ah, aku hanya membuang waktuku! Aku harus cepat-cepat kembali ke rumah, Langit pasti sudah datang! "Soal traktiran itu, kamu harus bikin janji dulu, kalau kubilang nggak bisa, berarti emang ada yang bener-bener penting. Ngerti, kan?"
Dia hanya tertawa sinis seolah mengejek. "Yah, gimana juga kamu artinya peduli sama aku."
"Nggak!"
"Kalau gitu ngapain rela batalin janji yang lebih penting dari Rapat Paripurna? Ngapain jauh-jauh dari rumah kesini? Itu juga ngapain pake sendal jepit beda sebelah gitu." Aku menunduk, satu sandalku dan satunya lagi milik Ponyon. Ah, memalukan!
"I, ini, ini..." aku terbata-bata. "Ini namanya, ini tuh berarti aku punya hati nurani sebagai manusia, tau, nggak?! Jangan main-main sama orang baik!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Belong To Me
Teen FictionDia adalah laki-laki yang selalu membuatku kehilangan kata-kata, laki-laki yang selalu membuatku lupa dimana seharusnya aku berada, laki-laki yang selalu membuatku lupa aku hanya gadis biasa. Tuhan, hidupku tidak mudah, hidupku tidak selalu menyenan...