Ah, yang benar saja! Sudah setengah jam aku duduk menunggu di sofa. Akhirnya, saat yang ku tunggu tunggupun tiba. Ia keluar dari kamarnya.
" Ayo Bang, jalan!" serunya
" Jalan sana sendiri, lagian pake baju aja sampe setengah jam."
" Hehe. Ayoo bang, jangan ngambek doong."
" Eh, emangnya sekarang mau ke mana gitu?" tanyanya.
" Aaah, udah yuk ah jalan aja, jangan banyak tanya."
" Iiih." Aku menarik tangannya, keluar dari kamar dan segera turun ke basement.
Selama ini aku menitipkan motorku di rumah ayah di Senayan dan kemarin supir ia lah yang membawakannya kemarin. Kami keluar dari lingkungan apartemen dan turun ke persimpangan dua arah. Pagi ini Jakarta cukup lembab dan berawan.
Aku membawa motor berbelok ke arah kanan. Jalanan terbilang agak ramai, jalur ini memang sering digunakan untuk memotong jalan, selain itu mungkin karena letaknya dekat dengan pusat kota tentu saja pasti ramai. Meski ini masih pagi polusi sudah pekat dan menyesakkan. Tujuanku hari ini adalah rumah sakit tempatku mulai bekerja minggu depan, rencanya aku akan menghadiri rapat internal di sana pasal perekrutanku sebagai ketua baru untuk tim bedah. Rumah sakit ini memfokuskan diri pada perawatan kanker.
Dan jujur aku cukup tegang, ini yang pertama untukku. Sewaktu di Amerika aku memang pernah memegang jabatan sebagai asisten, tapi sekarang tanggunganku lebih berat, sepertinya. Jarak rumah sakitnya hanya sekitar lima ratus meter, jadi tidak perlu waktu lama untuk sampai ke sana.
Sekitar sepuluh menitan, aku sudah berdiri di depan lobi. Resa menatapku ragu.
" Siapa bang yang sakit?" tanyanya.
***
" Hahaha." si gila ini malah tertawa bukannya menjawab pertanyaanku, aneh. Pagi tadi ngambek gara gara aku lama, sekarang ketawa ketawa dan malah membawaku ke lobi rumah sakit, jelas dia udah gila, keliatannya sih mau ke psikiater deh. Hahaha.
" Kita ada agenda penting hari ini."
" Cih, paling juga lo ada janji sama psikiater." Ledekku. Tapi ia tidak bergeming, tatapannya berubah serius ia kemudian mengenggam tanganku keras, bukan erat. Lobinya sepi, yang aku lihat hanya sebuah eskalator yang mendominasi, sofa berkulit krem dan sebuah grand piano, mungkin hanya hiasan.
Tangan besarnya menariku masuk ke dalam lift. Wajahnya mengambarkan banyak kekhawatiran, apa gerangan yang kau khawatirkan bang? Biasanya lo enjoy aja, hahaha.
Lift berhenti di lantai empat. Ia akhirnya melepaskan tanganku setibanya di depan sebuah pintu. Beberapa kali ia menghela nafas berat sebelum akhirnya memegang knop pintu dan mendorongnya ke dalam.
Ruangan ini ternyata lebih besar dari perkiraanku. Seketika semua suara yang kudengar hilang bagai asap dimakan angin. Semua orang kini menatap ke arah kami berdua, mungkin tepatnya pada bang genta, lalu mereka bertepuk tangan. Bang Genta kembali mengenggam tanganku, lebih erat dari sebelumnya. Denyut nadinya terasa diujung jariku, rasa cemasnya sekarang jadi berpindah juga padaku.
Entah, semuanya tidak begitu jelas bagiku. Ya, sudah lumayan lama ini terjadi. Setiap kali aku dihadapkan dengan situasi yang agak rumit atau membuatku tidak nyaman, pandanganku cenderung akan kabur lalu kehilangan keseimbangan dan berakhir dengan hilangnya kesadaran.
Aku dan Bang Genta berjalan ke depan. Hampir semua orang yang hadir tadi sudah meninggalkan ruangan ini. Penglihatanku masih kabur, kurasa akan membaik sebentar lagi.
" Gimana trip lo kemarin di Korea, Gen?" tanya seorang wanita, ia adalah wanita yang sedari tadi berdiri di depan ruang ini, mempresentasikan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home
RomanceH.O.M.E Rumah? Akhirnya aku pulang ke tanah kelahiranku. Apa itu bisa disebut pulang ke rumah? Sedangkan sekarang aku malah pindah ke rumah kakaku, apa itu rumahku yang sebenarnya? Muncul orang orang baru di kehidupanku yang sekarang aku tak yakin p...