Cerita ini kutulis saat cowok itu mulai mengunjungi kamar kostanku pada hari Minggu awal bulan Agustus di pagi buta untuk meminjam sepatu olahraga. Cowok itu tersenyum khas dengan wajah ceria yang membuatku tersenyum lagi-lagi dengan sejuta debaran di hatiku. Wajah itu begitu indah, dengan mata tajam dan tubuh tinggi tegap. Aku mengaguminya, bahkan sejak pertama kali bertemu. Dia mahasiswa baru di kampusku, satu fakultas, satu jurusan, satu prodi. Ya, dia juniorku yang kemarin sempat jadi korban keisenganku waktu OSPEK. Aku juga tak habis pikir kalau dia juga satu kostan denganku, dan kamarnya juga tepat di depan kamarku."Kamu mau ngapain pinjem sepatu pagi-pagi gini?" aku menguap, menampakkan kantukku yang masih terasa. Aku baru bisa tidur pukul tiga pagi tadi.
"Olahraga... Habis sholat subuh tadi sekalian aja lari pagi," jawabnya pelan. Aku menguap untuk yang kesekian kalinya. Dalam sekejap aku mengambil sepatuku di rak samping kasur.
"Nih, balikinnya ntar aja gampang! Aku mau tidur dulu, nggak kuat ngantuknya...!" aku mengulurkan sepatuku dan menutup perlahan pintu kamarku. Dia menerima sepatuku dan menatapku dengan wajah datar sambil menungguku menutup pintu. Dia hanya terdiam tanpa bicara sepatah katapun. Dan jujur, saat itu dahiku berkerut. Kenapa tanggapannya seperti itu, tanpa kata apapun. Bahkan walau hanya rasa terimakasih! Ah, aku mulai sebal dengan sikapnya itu! Tapi walau begitu tetap saja aku merasa ada hal lain yang sangat kusuka darinya. Sukaaaa....? Ah, mungkin!
***
Aku bersiap-siap berangkat ke kampus pagi hari keesokan harinya. Kuliah pagi. Seperti biasanya aku sudah memanasi mesin motorku di depan kamar. Adik angkatan itu juga ikut memanasi motornya. Kami hanya beradu pandang sesekali, lalu sibuk dengan aktivitas masing-masing. Aku tersenyum geli.
"Kuliah hari pertama, ya?," tanyaku basa-basi. Dia mengangguk pelan, tanpa jawaban. Aku mendengus kesal. Dalam sekejap muncul rasa dendam dalam hatiku melihat tingkahnya itu. "Oh, ya kemaren kan kamu pinjam sepatuku dan belum dikembalikan..!" aku menyindirnya telak. Dia mendongak, menatapku dengan alis berkerut. Biar saja, biar dia tahu diri sedikit. Suruh siapa cuek begitu dan sok jual mahal.
"Itu sepatumu!" dia menunjuk depan pintu kamarku. Aku menoleh, mengikuti arah yang dia tunjuk. Gotcha! Sepatuku telah tergeletak rapi di depan pintu kamarku, terbungkus plastik dan warnanya juga jadi cerah. Sudah dicuci juga! Hoho, malu! Malu!
"Oh, maaf deh aku nggak tahu! Kamu nggak bilang juga!" aku bersungut-sungut sambil menahan malu. Namun beberapa saat kemudian aku mulai merasa kalau dia yang memang tidak tahu diri.
"Kemaren aku kasih, tapi kamunya yang nggak ada, jadi aku tinggalin di sana. Aku juga udah nulis surat ucapan terimakasih.."
Aku membeku di tempatku. Apa-apaan ini? Kenapa malah dia menjawab begitu? Ah, menyakitkan!
"Emangnya kamu nggak punya mulut, apa? Itu juga, kamu pake enak aja sebut nama 'kamu' seenaknya! Kamu kan adek angkatan!" aku nyaris berteriak karena kesal.
"Hmm.. maaf, deh! Tapi aku lebih tua dari kamu. Kamu bukannya dulu lompat kelas?" dia menatapku datar. Aku melongo. Sejak kapan dia tahu? Kenapa dia tahu? Bahkan teman kuliahku pun tak ada yang tahu soal ini. Mereka hanya tahu kalau usiaku lebih muda daripada mereka.
"Darimana kamu tahu?" aku menatapnya bingung. Sifat ingin tahuku muncul tiba-tiba.
"Dulu kita satu sekolah waktu SMA.." suaranya terdengar pelan. Aku melongo, mencoba mengingat wajah di depanku lagi. Dulu aku lumayan terkenal di sekolah. Terkenal dengan jiwa badung tapi cerdas yang kupunya. Uhuuukkk! Aku memang nakal, hobi maen dengan cewek-cewek, jahil banget, dan teman-temanku selalu gemas dengan ulahku. Tapi guru-guru begitu menyayangiku, karena aku lumayan cerdas. Makanya aku mencoba ikut jalur percepatan alias akselerasi, hingga aku bisa lulus lebih dulu dari teman-teman satu angkatanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Day, My Diary (ONESHOOT - BXB)
Teen FictionHanya sebuah diary seorang cowok hingga dia menemukan seseorang.