4 - Citra

28 2 4
                                    

A/N - On second thought, ternyata gua bisa update lagi. Hehe. Enjoy.

Gua cuma bisa mematung. Mending disapa nggak ya?

Ah, tapi paling bakal awkward sama dia, setan dalam diri gua berbisik. Gua pun mengurungkan niat dan cuma ngeliatin dia doang dari depan pintu. Untung aja yang bikin gedung sekolah ini nambahin kaca di bagian pintunya. Kan, lumayan berguna di saat-saat begini.

Ketika lagi asyik ngelamunin Serafina, yang saat ini masih duduk di kursi piano, tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya.

Lalu kedua matanya bertemu dengan gua.

Anjrit.

Panik, gua langsung jongkok biar nggak keliatan. Pak Cahyo yang baru lewat sampai kaget dan ngeliatin gua dengan tatapan, ini anak udah gila.

Ya iyalah Pak. Wong tatap mataan sama Serafina Pak.

Setelah itu gua langsung lari balik ke kantor guru, nemuin Daniel yang celingak-celinguk. Pasti nyariin gua.

"Dan!" dia pun nengok, lalu memasang wajah kesal. "Avi! Lu kemana aja sih? Kaki lu varises ye disuruh nunggu bentar aja nggak mau?"

"Lha, kalo varises mah gua jadi gabisa jalan Dan."

"Yah, bodo amat lah. Lu kemana tadi emang?" Kayaknya ngerasa nggak mau jadi seorang emak-emak, Daniel mengalihkan pembicaraan.

"Gua tadi ke ruang musik."

"Terus?"

"Ada Serafina di sana."

"Oh."

Entah kenapa setelah itu Daniel nggak nanya apa-apa lagi. Mungkin mikirin juga, apa yang gadis itu lakukan di sana. Kami pun berjalan dalam diam ke arah kantin.

Tadinya sih diam.

Sampai perut gua bunyi.

Gua nyengir ke Daniel yang menatap gua, "Laper nih, Dan. Traktir bakso ya."

"Yeeeeh."

● ● ●

Home sweet home.

Gua turun dari motor setelah melepas helm. Setelah naik ke lantai empat, gua membuka kamar gua dan melepas sepatu. Nyaman banget rasanya kalo udah di rumah begini.

Dari sudut kursi tamu ada suara mengeong. Kucing gua, namanya Apollo. Setelah enam bulan di apartemen ini gua merasa kesepian, jadi gua pungut deh itu kucing dari penampungan. Lucu banget serius. Warnanya cokelat-putih-hitam, jantan, jenis campuran dan udah dikebiri. Pas banget buat jadi kucing apartemen.

"Hai, Apollo," celetuk gua sambil menggantung jaket di belakang pintu. Maklum, tinggal sendiri, jadinya nggak ada yang bisa diajak ngomong. Tuh, untung kan gua adopsi kucing.

Kebetulan, hari ini gua mulai kerja di kafe dekat apartemen. Masih sisa satu setengah jam lagi sih. Gua membuka kulkas.

Yang ada cuma susu sekotak kecil, biskuit yang tinggal setengah bungkus, dan kotak makan kecil yang isinya entah apa.

Sumpah, itu kayaknya isinya udah berwarna ijo kebiruan.

Tanpa apa-apa lagi gua langsung membuang kotak makan itu, lalu menutup kulkas dan menghela napas panjang.

Saatnya belanja bulanan.

Gua paling males belanja bulanan. Lu bakal kayak ibu-ibu di supermarket, apalagi kalau belanjaannya banyak dan berdiskon semua. Lu juga harus nanya-nanya orang dimana barang ini, dimana barang itu, yang artinya harus bersosialisasi dengan yang lebih tua.

Malas, malas, malas.

Tapi terpaksa sih. Ntar gua makan apa dong, kalau nggak belanja?

"Apollo, aku tinggal pergi dulu ya. Itu makannya udah, pup kamu juga udah aku beresin," ujar gua sambil meletakkan nampan makanannya.

Tinggal sama kucing emang bikin kita sedikit gila.

Apollo membalas dengan meongan yang sedikit keras. Gua tersenyum, lalu ke kamar untuk ganti baju dan ambil baju kerja. Nggak sampai lima menit kemudian, gua udah melintas lagi di jalan raya.

Gua memutuskan untuk ke supermarket yang agak jauhan dari sekolah. Kan nggak lucu kalau tiba-tiba ketemu anak sesekolah ngelihat gua lagi belanja gitu. Gua udah cukup eksis di sekolah – meski gua nggak mau – dan nggak perlu tambahan.

Parkiran motor di supermarket ini nggak terlalu jauh, jadi lumayan gua bisa belanja sekaligus banyak. Gua pun memasuki ruang belanja tersebut, merasakan hembusan angin yang sangat familier tiap kali kita memasuki sebuah gedung.

Telur, susu,cemilan, roti, ramen instan, cemilan, sayur, apel, cemilan-

Tiba-tiba ada suara yang amat terlalu telinga gua kenal.

Suara yang nggak gua dengar selama empat tahun terakhir.

"Avi?"

Napas gua tersentak. Kenangan masa lalu yang terkubur di dasar hati gua yang paling dalam, menyeruak keluar bagai tsunami.

"Citra."

● ● ●

Gua berakhir dengan pergi ke dokter sehabis pertemuan gua dengan dia, yang menyebabkan gua terlambat di hari pertama kerja.

"ALVIAN! KENAPA KAU BARU DATANG?! KAU KIRA SEKARANG JAM BERAPA, HAH?!"

Aduh, kuping.

Kena sembur deh gua. Maklum, bos gua, Pak Hugo, terkenal galak meski beliau juga kadang menaikkan gaji dengan perbedaan yang lumayan. Tapi sekarang mana bisa gua mikirin soal gaji. Yang kepikiran di otak gua, giaman caranya gua ngehindari si Buto Ijo yang nggak ijo ini.

"Maaf Pak, saya tahu ini shift pertama saya, tapi tadi ada halangan Pak."

"Halangan apa sampe kamu telat satu jam begini?!!"

"Urusan kesehatan, Pak."

Itu cukup untuk membungkam Pak Hugo dan menghindari gua dari semburan mautnya lagi. "Ya sudah, kali ini saya beri toleransi. Kalau kau lakukan ini lagi, saya potong gaji kau. Atau saya pecat kau kalau sudah parah sekali. Mengerti?" nada Bataknya tegas, namun beliau sudah tidak semarah tadi.

"Baik Pak. Permisi."

"Hm."

Setelah keluar dari ruangan Pak Hugo, gua ke staff room. Di sana ada Reva, anak kuliahan yang kenalan sama gua setelah gua numpahin kopi panas ke bajunya sebelum kerja disini.

Jangan tanya kenapa.

"Bro, diapain lu sama si Kumis?" dia langsung bertanya, matanya bersinar geli. Memang lucu ketika melihat Pak Hugo yang gemuk dan berkumis tebal, marah-marah sampai mukanya memerah. Hei, kalimat itu berima.

"Nggak diapa-apain kok, dikasih peringatan doang," jawab gua. Reva merengutkan wajahnya sedikit. "Tumben dia baik."

"Yah, kebanyakan nyicip kopi kali dia."

"Ha ha."

"Yaudah yuk, gua mau kerja nih. Duluan Rev," gua keluar dari ruangan, dan sayup-sayup suara Reva terdengar di belakang gua.

Ketika sedang mengelap meja nomor lima, seorang laki-laki yang membawa gita berwarna ivory memasuki panggung kecil yang memang biasanya dipakai untuk para pemusik bernyanyi. Ketika dia mulai memetik gitarnya, gua mengenali lagunya; Afire Love buatan Ed Sheeran.

Ed selalu jadi inspirasi musik gua. Lagu-lagu yang dia buat memiliki latar atau cerita tersendiri, yang membuat gua tertarik untuk menjadi seperti dirinya satu hari nanti. Tapi lagu ini, secara khusus, selalu menusuk hati gua karena liriknya yang dalam.

Dalam, dan benar-benar merepresentasikan hidup gua.

Mungkin nggak semuanya, memang, tapi sebagian besar. Dan itu bukanlah sesuatu yang bikin gua bahagia. Malah membuat gua terasa menderita.

Tapi gua suka lagu ini. Labil? Iya, emang.


SerafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang