Sasha sedang memakan biskuit yang ia beli di terminal Giwangan, saat ia berangkat. Setelah perjalanan hampir delapan jam, bis itu telah membawanya ke kota kelahirannya, Surabaya. Ia memutuskan untuk melanjutkan sekolah di sana, bersama Bu De-nya yang tinggal sendiri. Suaminya telah mendahuluinya mengahadap Sang Khalik, dan mereka tidak punya anak. Maka sebagai keponakan yang paling dekat, Sasha memutuskan untuk menemani bude-nya itu. Lagi pula saudaranya di Jogja masih ada banyak.
“Bungurasih! Bungurasih!” teriak kondektur. Sasha memasukkan kembali biskuitnya. Jilbabnya ia rapikan, begitu pula baju dan roknya. Ia segera turun sambil menggendong ranselnya. Setelah turun, ia mengambil kopernya di bagasi. Akhirnya sampai di Surabaya. Sasha tersenyum sambil memandang sekelilingnya.
“Mbak, permisi, ya,” kata pak kondektur yang tidak bisa menutup bagasi karena Sasha tidak juga pindah dari tempatnya berdiri—di depan bagasi.
“Eh, iya. Maaf, Pak,” Sasha kikuk, merasa bersalah. Untung saja Pak Kondekturnya baik, hanya membalas Sasha dengan tersenyum. Sasha mencari tempat duduk. Sambil berjalan, ia berpikir bahwa bagus juga pelayanan bis tadi. Karena menghormati penumpang, awak bisnya bersikap ramah. Cara supir mengendarai bis juga dengan tenang dan tidak membuat penumpang takut. Bis apa ya tadi namanya?
Sasha menoleh ke belakang, mencari bis tadi. Namun tiba-tiba seseorang menabraknya hingga hampir jatuh. Tidak minta maaf, pemuda yang menabraknya malah langsung pergi begitu saja. Huh, beda banget sama Pak Kondektur! Dasar, kayak copet aja! Gerutu Sasha. Ia lalu hendak menghubungi Bu De-nya. Tetapi dompet dan ponselnya tidak ada di saku jaket. Ia memeriksa lagi. Benar tidak ada.
Astaghfirullah, ternyata tadi itu memang copet! Sasha segera menoleh ke belakang, mencari orang yang menabraknya. Tetapi ia hanya menemukan orang-orang lalu lalang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Sasha tidak ingin menghebohkan situasi. Belum tentu ia didengar. Ia hanya beristirja’ lalu duduk di bangku yang sepi dari orang-orang. Rasanya ia ingin menangis.
Baru kali ini Sasha datang ke Surabaya sendirian dan naik bis. Ponselnya telah dicuri. Ia tidak punya kenalan selain budenya itu. Seharusnya aku tanya alamat. Setidaknya aku bisa naik taksi kalo tahu alamatnya Bude. Tidak, ia tidak bisa naik taksi. Uangnya sudah habis diambil copet. Sisa uang di saku roknya tidak seberapa. Ia harus naik angkutan kota. Ia ingat, nama jalan tempat bude tinggal adalah Keputran-Kejambon. Ia bisa bertanya pada supir angkutan kota.
Gak usah nangis! Kan udah istirja’, biar Allah yang membalas. Sekarang yang penting ke tempat bude dulu. Udah mau ashar. Sasha menyemangati dirinya sendiri. Ia menuju keluar terminal, dimana ada banyak angkutan kota di sana.
“Pak, kalo mau ke Keputran-Kejambon, naik apa ya?” tanyanya pada salah satu tukang becak di sana.
“Oh, naik yang kuning itu, Mbak,” jawabnya sambil menunjuk angkutan kota berwarna kuning.
“Makasih, ya, Pak!” Sasha tersenyum senang. Ia segera menuju angkutan kota itu. Setelah memastikan angkutan itu bisa membawanya ke tempat tujuan, Sasha naik membawa ransel dan kopernya. Ia merasa sedikit lega setelah naik angkutan. Ada banyak orang di dalam angkutan itu, sehingga tempat duduk harus ekstra berbagi. Karena lelah, tanpa sadar Sasha tertidur lelap. Terbuai oleh mimpi indah bertemu dengan sang bude.
.oOOOo.
Sasha terbangun karena guncangan yang kencang dari mobil angkutan yang ia tumpangi. Ia kaget karena hari sudah hampir gelap. Tidak ada lagi penumpang selain dirinya di dalam mobil itu. Ia melihat keluar. Jalanan sepi. Banyak pohon-pohon. Seingatnya, keputran-kejambon itu sebuah jalan raya besar.
“Pak, belum sampai, ya?” tanya Sasha polos.
“Kemana, Dik Cantik?” pak supir bertanya balik.