"Woi."
Kepala gua ditoyor seseorang.
"Hah- Apa? Kenapa?" abis ngelamun, jadi bego deh. Daniel, Erin dan Satya – yang ternyata noyor gua – cuma menatap masam muka gua.
Ngomong-ngomong, Satya itu juga salah satu teman sekelas gua, yang lebih bisa ditoleransi dari yang lain. Bukannya gua nggak suka sama yang lain sih, tapi mereka semua itu – maap – bangsat-bangsat nggak tahu diri.
"Gue tadi nanyain lo mau nggak jalan bareng Sabtu ini," Satya kembali berkicau sambil menimbun nasi goreng di mulutnya. Not attractive, bro.
"Boleh." Gua mengendikkan bahu. Lagian Sabtu ini gua juga nggak kemana-mana. Apollo udah gua bawa ke dokter hewan buat cek dua-bulanan juga.
Perlahan gua mulai bengong lagi. Lagu Afire Love masih terlantun di pikiran gua. Gua berpikir, apa yang lagi dia lakukan disini waktu itu? Bagaimana kabar mereka disana? Apa mereka masih mengawasi gua sekarang?
"Earth to Avi! Hellooo!" Erin menjentikkan jarinya berulang kali di depan muka gua. "Eh, iya, apa lagi?"
Sekarang muka teman-teman sebangku gua mulai merengut. "Lu kenapa dari tadi Vi? Ngelamun terus kayaknya," Daniel nyenggol lengan gua. Gua cuma bisa diam.
"Nggak papa kok." Lalu pergi.
Ala sinetron ftv gitu ya? Tenang, nggak kok.
● ● ●
Hujan.
Gua nggak bisa pulang.
Duh, sial.
Udah kira-kira tiga puluh menit gua nungguin ini hujan buat berhenti, eh malah makin deres lima menit yang lalu. Kayaknya cuaca lagi nggak bersahabat sama gua. Sama suasana hati gua sih, mungkin ya. Lha?
Gua menghela napas. Tiba-tiba dari belakang ada yang noyor.
Ada apaan sih sama orang-orang dan kepala gua? Kepala gua nggak ngapa-ngapain tapi ditoyorin mulu.
"Oit," Erin menyapa gua. Kayaknya hari ini ekskul band pulang telat. "Hm," sahut gua.
Erin menghela napas panjang. "Lu kenapa dah Vi?"
"Kenapa apaan? Gua nggak apa-apa Rin, beneran deh."
"Jangan bo'ong deh ya lu," wajah Erin mencelos, "Gua tahu ada sesuatu yang salah dari lu. Lu tau nggak sih, dari tadi pagi Serafina tuh ngelirikin lu. Temen-temen sekelas ngira lu nggak masuk, padahal yang paling rajin ngapusin papan tulis atau manggil-manggil temen tuh siapa? Elu.
"Lu juga nggak fokus banget hari ini. Bukan bermaksud niru iklan Aqua-" gua menyelipkan tawa disini, "-heh lu jangan ketawa. Bukan maksudnya niru iklan Aqua, tapi ada sesuatu yang nggak beres dan lu harus ngomong ke gua. sebagai salah satu sahabat lu."
Erin sedikit ngos-ngosan setelah ngomong panjang lebar. "Udah?"
"Avi!"
"Iya-iya," gua kembali tertawa garing, "Gua sih mau aja cerita. Tapi gua – no offense Rin – lebih deket sama Daniel ketimbang lu, dan gua bilang sama Daniel aja belom soal ini. Gua rasa nggak adil kalo lu udah tahu duluan daripada dia," ucap gua, sesekali mengambil napas. Iyalah, gua mah santai, nggak kayak dia. "Kalo mau, lu tunggu hari Sabtu nanti pas jalan. Janji deh, bakal gua ceritain."
"Bener? Tapi nanti ada Satya juga lho. Lu juga mau ngasih tau dia?" Tanya Erin.
"Kita tunggu aja sampai dia balik. Soal ini, cuma lu sama Daniel yang boleh tahu."
"Oke. Eh, mobil mama gua udah dateng. Duluan ya, Vi, hati-hati di jalan," Erin melambaikan tangannya, lalu menerobos hujan ke mobil mamanya.
Tak lama, cuma kira-kira sepuluh menit, hujannya mereda. Langit kembali berwarna biru cerah. Mungkin ini tandanya Tuhan senang dengan apa yang akan gua lakukan.
Menumpahkan semuanya pada teman dekat gua.
● ● ●
Sabtu pun datang, dan gua udah rapi dan wangi.
Siap jiwa, siap raga, siap obat, siap kiat pertolongan pertama.
Yah, seandainya gua jadi syok atau gimana gitu pas ngomongin itu dengan mereka. Jujur, sebenarnya gua belum terlalu siap. Tapi gua tahu, ini harus gua lakukan. Sudah terlalu lama sejak itu terjadi dan gua harus mulai belajar untuk membuka diri pada orang lain.
"Meong," suara Apollo muncul dari pintu, membuat gua tersenyum kecil. Coba kalo Apollo bisa bicara dan ngasih saran, batin gua, lengkap deh hidup gua.
"Iya iya, makan ya? Sabar dong," gua membungkuk untuk menggendong Apollo ke ruang tamu. Setelah gua mengisi lagi nampan makannya, gua kembali mengambil jaket dan kunci motor, lalu mengunci pintu.
Here goes nothing.
Gua pun tiba di mall yang biasa gua samperin bareng teman-teman gua. Kami janjian untuk ketemu di Kopitiam. Saat gua nyampe disana, ketiga teman dekat gua udah duduk dengan masing-masing secangkir kopi di depannya. Gua menyapa mereka, lalu duduk di bangku kosong di sebelah Satya.
Iya, Erin sama Daniel sebelahan. Tinggal nunggu PJ nih.
"Lama bener lu!" Satya nyenggol gua, "Dari tadi gua kayak third wheel nih. Untung lu udah dateng." Dia beranjak bangun, lalu menghabiskan kopinya dalam seteguk. "Udah yok, jalan. Gua mau beli vinyl sama CD baru nih."
Ketika melihat Erin dan Daniel yang memerah, gua cuma tertawa.
Setelah keluar dari Kopitiam, kami jalan menelusuri lorong-lorong mall. Ke toko CD, seperti permintaan Satya, diseret Erin ke toko-toko baju, masuk ke toko buku dan hampir kehilangan Daniel selama dua puluh menit, lalu ke toko musik, tempat favorit sekaligus tempat yang paling gua keselin.
Favorit, karena gua cinta banget sama musik.
Kesel, karena gua nggak punya duit untuk beli alat musiknya. Ngenes.
Gua lagi melihat ke sebuah gitar warna mint dan yang berwarna merah menyala, ketika tiba-tiba gua ngelihat sebuah kepala yang terlalu familier.
Kepalanya Citra.
Sial.
Gua langsung panik, nyariin teman-teman gua yang lain. Gua nggak tahu sama sekali kalau dia disini!
"Cuy, cuy, cuy, balik yok cepet, gua nggak enak badan nih," setelah nemuin mereka gua langsung narik keluar. "Iya sih, lu pucat banget tuh Vi. Abis ngelihat setan ya?" canda Erin.
Gua cuma terdiam.
"Lha, beneran?"
Rasanya pengen noyor ini cewek sebagai pembalasan, tapi gua tahan keinginan itu.
"Guys, ada sesuatu yang mesti gua ceritain ke lu."
Di sudut mata gua, Erin terlihat membelalakkan matanya, seakan berkata, tapi masih ada Satya disini Vi!
"Nggak apa-apa Rin. Satya juga sebaiknya gua kasih tahu," bisik gua ke Erin. Setelah mengatakan itu, gua mulai berjalan ke Kopitiam tadi, sambil berharap ketika sampai disana, gua udah nyiapin hati, jiwa dan raga gua.
A/N:
Hai hai.
Maaf ya guys chapter 5 kemaren ternyata ada kesalahan teknis yang baru gua sadarin kemaren. Hari ini gua update chapter 6 sekaligus editannya chapter 5. Gitu deh.
Vote yah. Feedback juga. Love you guys.
~Rain
KAMU SEDANG MEMBACA
Serafina
General Fiction"Kita sama." Gua heran mendengar lu ngomong itu. Apa yang sama dari kita? Seinget gua nggak ada. Tapi begitu kejadian itu menimpa kita berdua, gua sadar dan menyesal nggak bertanya. Emang benar, Serafina. Kita sama.