#7

378 33 0
                                    

**

"Ada apa?" Tanyaku begitu memasuki rumah. Tak perlu mencari lagi keberadaan Justin karena dia duduk menungguku di tengah ruangan. Sepasang mata hazel itu menatapku tajam dan aku merasakan firasat buruk dimulai dari sini.

"Kau ada masalah dengan Caitlin?" Tanya Justin tanpa basa-basi.

Aku menggeleng. Masih merasa was-was akan apa yang dikatakan Justin nanti. "Kau menulis namanya berkali-kali pada surat ancamanmu. Dan kau masih mengatakan kau hanya bermain-main?" Lanjut Justin.

"Aku memang meminta Akhenaten menulis namanya. Maaf Justin. Aku tahu kau pintar. Aku menggunakan Ryan hanya sebagai umpan." Kataku. Pelan, namun tak mengurangi nada tegas di dalamnya.

"Ryan hanya umpan? Kau mengorbankan nyawa Ryan hanya sebagai umpan?" Tanya Justin lagi. Oh! Mungkin sebentar lagi dia akan marah. Bagaimana sih cara membuat suamiku ini berkata tenang. Sungguh. Aku tak ingin lagi bertengkar dengannya. Itu menyakitkan.

"Tapi aku tidak membunuhnya. Akhenaten. . ."

"Terserah apa katamu. Kalian sama-sama pembunuh. Apa salah Caitlin pada kalian? Tak bisakah kalian berubah menjadi orang yang lebih baik?"

Aku mendongak. Menatap sayu kedua bola matanya. "Aku sedang berusaha menjadi orang baik, Justin." Kataku. Memutuskan untuk tidak lagi membalas perkataannya dengan bentakan. Agar tidak menciptakan kembali bentakan-bentaka selanjutnya.

"Omong kosong!"

"Maaf. Aku memang seharusnya tak menjadi penghalang. Aku memang bodoh. Aku sadar kau sangat mencintai Caitlin. Kupikir dengan aku meneror kekasihnya, itu akan membuat mentalnya tertekan. Dia akan gila, dan kau tidak akan lagi mencintainya. Aku minta maaf Justin. Tapi sungguh! Aku mencintaimu lebih dari yang pernah ku tahu."

Justin terlihat kaget. Tubuhnya tersentak kebelakang. Dengan kaku, dia menyandarkan punggungnya di sofa tanpa berani menatapku. Pandangannya teralih pada vas pecah yang dari tadi belum sempat di bereskan.

"Aku . . . Aku akan pergi menemani Caitlin ke Florida."

Sakit. Sesak. Seakan tenggelam dalam kebisingan yang memekakkan telinga. Namun semua mendadak senyap. Justin pergi bersama Caitlin ke Florida. Meninggalkanku di sini padahal kami baru saja bertemu tadi sore. Sepertinya dia memang tak pernah bisa melepaskan Caitlin.

Dengan berat hati, aku mengangguk. "Tak apa. Aku mengerti. Lagipula, aku tidak bisa meminta maaf pada Caitlin dan membocorkan rahasia bahwa aku seorang Cleopatra. Jadi anggap saja, ini sebagai permohonan maafku. Karena telah membuatnya tertekan. Dan atas kelalaian Akhenaten karena telah membunuhnya tanpa seizinku."

Aku menelan ludah. Justin menatapku bingung. Permintaan maaf ini sepertinya terlalu berkesan formal baginya. Namun aku tetap akan melanjutkan perkataanku.

"Seharusnya dia tidak membunuh Ryan. Tapi tidak pernah menurutiku. Dia hanya membantuku secara sukarela sebagai sahabatnya. Aku mengerti. Kami hanya tunduk pada Anubis. Tak ada yang bisa melawan meskipun dia meminta kami membunuh diri kami sendiri."

Entièrement ContrôléTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang