Prolog

5.4K 102 14
                                    

"Kasihan sekali gadis itu. Ayahnya dulu kabur, kakaknya overdosis, sekarang ibunya meninggal. Sekarang pasti dia sebatang kara."

Gadis itu berdiri mematung di hadapan makam ibunya. Peti sudah bergerak turun memasuki lubang makam. Tapi gadis itu tetap tidak menunjukkan reaksi apa pun. Tidak menangis, tidak bicara, atau tidak melakukan apa pun. Hanya diam... diam... dan diam saja. Seakan tak ada seorang pun di sekelilingnya.

Dua tahun yang lalu...

Sosok setengah baya muncul di hadapannya, memandangnya dengan tatapan jijik.

Dia bukan Papa! Dia bukan papaku! Chiara selalu menanamkan kata-kata itu dalam hatinya. Papanya pasti telah mati. Ya, pasti begitu. Papanya tidak mungkin seperti ini.

"Chiara, kau anak haram! Kau bukan anak Papa!"

TARRR!!!

Kata-kata itu meluncur begitu saja. Kata-kata yang terdengar seperti umpatan dibandingnya pernyataan.

Mendadak Chiara tidak bisa berpikir. Jangankan berpikir sekarang, bernapas pun rasanya sulit. Chiara ingin sekali tertidur. Dia ingin tidur dan saat bangun dia akan mendapatkan semuanya kembali seperti semula. Ini pasti mimpi.

Chiara memandang mamanya, meminta dukungan. Cepat katakan padaku bahwa semua ini cuma mimpi! Chiara berteriak dalam hatinya. Tapi mamanya hanya bisa terisak, dan terus terisak. Chiara beralih memandang kakaknya. Tapi Billy hanya memeluknya. 

Tanpa menjelaskan apa pun, setelah mengucapkan dua kalimat itu, papanya benar-benar menghilang. Setiap hari, Chiara melihat mamanya selalu menunggu di depan pintu, menunggu dan menunggu. Tapi papanya tidak pernah kembali.

Setahun yang lalu...

"Billy, gue pinjem kamus lo ya..." Chiara masuk dan mendapati kamar Billy kosong melompong. Akhir-akhir ini dia memang jarang melihat kakaknya. Setelah kepergian Papa, kakaknyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Beban Billy pasti sangat berat. Selain harus mencukupi kebutuhan sehari-hari. Billy juga harus menanggung biaya pengobatan mamanya yang mengidap penyakit jantung. Semua itu pasti tidak sedikit jumlahnya,  apalagi jika harus ditanggung oleh remaja yang baru berumur 18 tahun.

Tiba-tiba pandangan Chiara tertuju pada benda kecil di bawah ranjang. Tablet-tablet apa ini? Chiara membuka plastik kecil itu dan ia mengerutkan dahinya. Apa hubungan Billy dengan benda ini? Chiara berpikir keras. Ini jelas bukan obat Mama. Lalu apa ini? Jangan-jangan...

Chiara mencoba menepis semua pikiran buruknya. Tapi bayangan kakaknya dan tablet-tablet itu bergantian muncul dalam otaknya. Chiara ingin teriak, dia ingin menangis, dia ingin marah. Dia sudah benar-benar lelah menghadapi semuanya. Tanpa sadar, sebilah silet memotong nadinya begitu saja, tidak hanya sekali... dua kali... tiga kali...

"Chiara!!! Apa-apaan?! Lo gila ya!" Chiara mendengar teriakan Billy tiba-tiba, terputus-putus. Perasaannya panas dan dingin tidak keruan. Sinar lampu pun terlihat nyala dan padambergantian. Sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.

Chiara membuka mata. Semua tampak putih. Sekilas saja, dia tahu ini rumah sakit.

"Kita butuh uang. Gue cuma punya cara itu. Gue cuma anak SMA, Ra. Gue bisa kerja apa? Cuma itu satu-satunya jalan. Gue nggak make kok. Sumpah! Gue cuma ngedarin."

Chiara tak habis berpikir mendengar perkataan Billy. Chiara tidak habis berpikir tentang semuanya.

"Gue sayang sama lo!" Kata-kata Billy membuat Chiara gemetar. Memang bukan hanya sekali Billy mengucapkan empat kata tadi. Dan Chiara tahu, Billy menyatakan perasaan sayang yang bukan hanya sekedar dari mulut seorang kakak. Untuk sekian detik berikutnya, mereka berpelukan.

Dua minggu kemudian, Chiara menemukan kakaknya terbujur kaku dengan busa memenuhi mulut. Chiara menjerit sekeras-kerasnya, menangis sekencang-kencangnya. Chiara mengguncang-guncang tubuh Billy sekeras mungkin, memanggil-manggil nama Billy tanpa henti. Chiara merasa mulutnya sudah kering, suaranya pun sudah tak mampu keluar lagi. Tapi Billy tetap bergeming. Billy overdosis.

Tiga bulan yang lalu...

Kesehatan Mama semakin memburuk. Sudah tidak ada obat yang bisa dimakan. Hampir setiap malam Chiara bermimpi semua orang meninggalkannya. Dan hari itu, mimpinya benar-benar menjadi kenyataan. Tiba-tiba Mama pingsan dan berhenti bernapas. Chiara hanya menatap tubuh mamanya ambruk ke tanah. Dia tidak melakukan apa pun. Dia tidak berteriak seperti saat Billy meninggal, dia tidak menangis seperti saat menemukan Billy yang sudah terbujur kaku, dia bahkan tidak berlari menghampiri mamanya untuk memastikan apakah mamanya masih hidup atau tidak. Dia hanya tahu dia benar-benar ingin mati saat itu juga.

Chiara menatap peti itu tersiram tanah. Dan dia tetap bergeming.

"Chiara..." Satu sosok merangkul pundaknya. Terlihat sangat prihatin. Tetapi, Chiara menepisnya.

"Mulai sekarang, jangan panggil gue Chiara."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Separuh BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang