Different Ways

447 61 39
                                    

Cerita di Event Malam Minggu RWC. Tanggal 28 November 2015.
Yang disusun oleh Dndrn_ , rakapratama ,  indrindahsr , nisya11k , eniristiani

Sudah mengalami pengeditan. Jika masih ada yang ambigu, harap memberi saran dan masukkan :)

*Play mulmed, if you try to feeling this story. Biar makin dalem menghayatinya :D

-----


Kita berbeda, bahkan dari hal kecil saat kita saling menyebut nama masing-masing dalam doa.

***


Jika saja waktu bisa kembali aku putar, mungkin aku akan meminta untuk tinggal lebih lama. Lebih lama berada dalam situasi yg kuyakini Tuhan pun membencinya. Aku mencintainya, tapi aku benar - benar tak bisa melakukan apapun.

Aku tau dia pun memiliki perasaan yang sama terhadapku. Tapi aku di sini hanya bisa menunggu dia mengutarakannya kembali padaku.

Sayangnya, perbedaan keyakinan kami membuat beberapa orang menyudutkan kami. Aku sebenarnya tahan dengan hujatan mereka, tapi lama-kelamaan hujatan itu terasa menyakitkan juga. Sempat terfikir olehku untuk menyerah, ingin pergi dan meninggalkan semuanya. Tapi secuil cinta masih membuatku bertahan hingga sekarang.

Kini aku dan dia sedang berada disuatu tempat biasa kami bertemu. Di kafe Kayu Cokelat dengan background rintikan air hujan di luar kafe.

Tempat favorit kami adalah meja dekat dengan jendela. Dia bilang, dia suka di sini karena bisa leluasa melihat jalanan yang ramai akan orang-orang yang berlalu lalang.

Saat ini dia menatapku. Dalam, namun tatapan itu mengandung arti lain. Aku tak mengerti. Aku berbalik menatapnya. Pandangan kami tak terlepaskan, perlahan jemarinya meraih jemariku. Entah mengapa, aku ingin menundukkan kepalaku karena merasa ada yang berbeda dari sikapnya saat ini.

Dia menghela napas. Namun kalimat yang ia ucapkan berhasil membuatku ingin menangis. "Kita nggak bisa lanjut dengan keadaan kita yang seperti ini."

Sejujurnya, saat itu tubuhku nyaris limbung. Aku terperangah, lemas dengan kalimatnya.

"T-Tapi, kenapa? Bukankah kita selalu berkomitmen untuk selalu bersama?"

"Aku tahu, tapi semua orang punya batas kesabaran, dan kesabaran aku udah habis," ucapnya dengan raut wajah bersalah. Barangkali, maksudnya ia tak sabar dengan tekanan dari keluarganya, begitu juga dengan keluargaku.

Seketika air mata yang menggantung di kelopak mataku menetes. Pelan, namun cukup menggambarkan perasaanku saat ini.

"Airy, aku minta maaf," katanya dengan pelan.

Aku segera melepaskan genggamannya yang mulai erat. Jujur saja, aku tak bisa menahan air mataku yang ingin kutumpahkan semua. Aku tahu, akan begini akhirnya. Maka, demi menyembunyikan kehancuranku, aku pergi, melenggang jauh menembus gerimis yang mulai deras untuk meninggalkannya.

Dia meneriakkan namaku, namun aku tidak peduli.

Dia mengejarku dengan baju yang mulai basah kuyup.

Aku menemukan sebuah taksi sedang lewat, dan aku menghentikannya. Tapi langkahku tetap saja kalah, dia sudah lebih dulu memelukku dari belakang. Diposisi seperti ini aku bisa merasakan tangisannya. Ya, dia menangis.

Aku memberontak dan berteriak, "Apa mau kamu sekarang?! Kenapa kamu masih ngejar aku, hah?!"

Saat itu, aku hanya ingin dia melepasku dengan keyakinan yang dia yakini bisa membuat semuanya menjadi semakin baik. Namun dengan sikapnya kepadaku, kuyakin semuanya akan terasa sulit.

"Aku gak mau kamu pergi."

"Kenapa?" kataku sambil menoleh ke arahnya. "Kamu bilang kamu sudah tidak bisa melanjutkan ini lagi?!" lanjutku sambil terisak.

Tangannya kemudian menangkup wajahku sambil menghapus air mataku. Dia berkata, "Tapi bukan berarti kamu meninggalkan pembicaraan kita begitu saja."

Rasanya, tubuhku limbung seketika.

"Aku sudah merasakan pedih yang mendalam, kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan, Dylan. Aku mau kita pisah dengan cara yang kamu yakini bisa membuat semuanya baik. Tapi..." Aku menghela nafas dengan kasar lalu berkata, "Aku perih saat kamu bilang seperti itu, aku merasa saat itu kamu sama sekali tidak punya hati."

Dia menundukkan pandangannya, sekali lagi raut kesedihan terpancar di sana.

"Maaf sekali lagi maaf, tapi kita memang nggak bisa bersatu! Kamu pernah dengar 'kan, kalo jodoh itu di tangan Tuhan?"

"Aku tahu," jawabku lirih.

"Jika Tuhan kita aja beda bagaimana kita bisa bersatu?"

Kalimat itu seketika menohok jantungku. Aku terdiam, isakanku berubah menjadi pilu yang menyakitkan.

"Tapi, bukankah kita masih bisa menjadi seorang teman?"

"Berteman?"

Tatapannya melunak. "Sejujurnya, aku pun tak menginginkan ini."

Dengan senyum perih, dia berkata, "Kita mulai dari awal hubungan kita. Meski dengan cara ini justru aku makin sulit untuk melupakan perasaanku padamu. Namun cara inilah yang kuyakini, aku masih memiliki kesempatan melihatmu. Meski hubungan kita tak lagi seperti dulu."

Aku terdiam sejenak mencoba mencerna setiap perkataannya. Berteman? Oh Tuhan tak bisakah takdir berpihak kepadaku? Tak bisa kah sekali saja umatmu yg mengenakan jilbab panjang ini merasakan cinta seutuhnya dari sosok yg selalu membawa injil serta kalung salib ditanggannya? tak bisakah itu terjadi?

"Aku tidak bisa, Dy..." Aku kembali memberontak. "Lebih baik kita nggak perlu ketemu lagi."

"Kenapa begitu?"

"Aku ngga bisa, Dy. Aku nggak bisa berteman dengan kondisi seperti ini. Aku nggak bisa berteman dengan masa lalu yang sudah kuanggap sebagai separuh hidupku."

Di tengah hujan yang mengguyur dan membasahi tubuh kami, Dylan tersenyum tipis. Ia tampak menggelengkan kepala, tanda tidak menyetujui keputusanku.

"Kita harus berusaha melupakan masa lalu kita, mencoba membuka lembaran baru. Dengan atau tanpa adanya hubungan." Kali ini dia mencoba bijaksana, meski kuyakini hati dan perasaannya tidak mencerminkan perkataannya sama sekali.

"Gampang sekali kamu bilang seperti itu, Dylan. Kamu bener-bener kelewatan!"

"Jadi begitu? Ya udah kalau kamu mau pergi, silahkan pergi aja. Kamu terlalu keras kepala," kata Dylan. Ia sudah mulai frustasi.

"Aku memang akan pergi, Dy. Lenyap dari kehidupanmu," ucapku terlihat tegar.

Ketika aku berbalik badan dan akan melangkah, ia tiba-tiba mengenggam pergelangan tanganku. Aku melepasnya kasar sambil berlari dan menahan air mata yang jatuh kembali "Dia tak boleh menahanku lagi," batinku.

Orang bijak bilang, cinta sejati letak tertingginya ketika kita melepaskan. Mungkin, ini saatnya aku melepaskan dia, seseorang yang kucintai namun sulit kubagi rasa dalam satu agama.








Different WaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang