1. Kiera
"Kali ini apa lagi yang lo sembunyiin, Kak?"
Sebelah bahuku bersandar di ambang pintu kamar, sementara menatap Sera dengan lengan tersilang. Dia sedang duduk sembari membaca buku--novel roman favoritnya, sepertinya. Sera menoleh, menatapku sekilas, sebelum akhirnya memasang pembatas buku dan memperhatikanku sepenuhnya.
"Lo udah makan, Kir?" tanyanya setelah menatapku.
"Udah." aku melipat kedua lenganku di depan dada. "Menyenangkan sekali, Kak." ucapku dengan sarkasme yang kental dalam nada.
Sepertinya Sera menyadari sarkasmeku. Tatapannya berubah serius, sementara menatapku dari ujung ke ujung--kebiasaannya untuk memastikan aku tak terluka. "Kiera? Kenapa?"
Aku menggigit bagian bawah bibirku. Tentu saja, aku tak terluka secara fisik. Tapi sisi lainku terluka. Sakit.
"Kiera?" nadanya makin naik karena cemas, sementara matanya yang sewarna madu berusaha mencari ke dalam diriku. "Kiera, Sayang. Kenapa? Apa Jev nyakitin lo? Ngapa-ngapain--"
"Aku lihat fotoku, Kak." ucapku setenang mungkin. "Di dompet Jevon."
Dia berhenti di tempatnya, posturnya kaku secara tiba-tiba.
"Oliver tanya aku, Kak." tambahku lagi, masih berusaha dengan nada tenang. "Apa aku ingat sesuatu."
Sera masih diam tak bergeming, walau wajahnya memucat seiring dengan kata-kataku.
"Aku lihat bagaimana cara mereka menatapku, Kak." ucapku dengan nada goyah. "Seakan aku bisa membakar mereka dengan hanya melihatku."
Bahu langsing Sera jatuh, tahu kalau aku merobohkan semua bentengnya. "Kiera, gue--"
"Kenapa rasanya semua orang lebih tahu tentang aku dibandingkan diriku sendiri, Kak?" aku menggigit bibirku kuat-kuat, saat merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk mata. "Gue nggak mau membenci lo lagi, Kak Ser. Tapi kenapa lo masih juga berusaha menyembunyikan sesuatu dari gue?"
"Gue..." Sera tampak tercabik. "Ini nggak sesederhana kelihatannya, Kiera."
Aku menunggu dalam diam. Terutama karena aku takut, aku akan benar-benar menangis apabila mengeluarkan satu kata lagi.
"Gue nggak bisa seenaknya." ucapnya pelan-pelan, masih ragu. "Karena ini bukan tentang gue, Kir. Ini juga bukan cuma menyangkut perasaan lo aja. Ada empat hati yang harus gue jaga disini."
"Seenggaknya lo bisa kasih tahu gue, Kak. Cuma sebatas apa yang gue boleh tahu." aku menggigiti bibir semakin kuat. "Kakak kayak terus berusaha menjagaku agar tetap dalam gelap. Agar aku cuma bisa lihat apa yang ada dalam kegelapan itu aja. Kenapa, Kak? Apa bener?"
"Gue--" Kakakku itu membuka mulutnya, dan langsung mengatup lagi. Dia bingung. "Astaga. Kiera, Kiera jangan nangis." matanya melebar panik menatapku.
"Gue--nggak--" setiap kerjapan mataku malah membuat tetes demi tetes air mata jatuh ke pipi. "Gue--nggak--nangis."
Bohong.
Aku menarik napas dalam-dalam, namun rasanya aku tak bisa bernapas. Kepalaku menunduk, membuat tetesan-tetesan bening jatuh bebas ke lantai.
"Kiera--"
Sera tiba-tiba berdiri di hadapanku, dan meraih diriku yang lebih kecil darinya. Lengannya kuat memelukku, sementara ujung hidungnya terbenam dalam rambutku. Begitu erat, rasanya berat dan penuh perasaan yang bergulung-gulung, seperti mengalir dari setiap diri kami yang bersentuhan.
Aku memejamkan mata, merasakan kehangatan yang menjalar, berusaha melumasi setiap bagian hati yang sudah lelah. Berusaha menambal tiap kekosongan dalam jiwa. Membiarkan diriku direngkuh dalam pelukannya, seperti masa kanak-kanak. Hangat, dan lembut. Namun kali ini dingin, dan air mataku mengalir lebih deras karenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
V.S [1] : Catch Me If You Can
Teen FictionV.S Tetralogy (1) : Kiera R.D Putri Perdana . Ini cerita, tentang persahabatan. Juga cinta. Dan ingatan Oliver cinta Kiera, dan menunggunya hampir seluruh hidupnya walau gadis itu hanya tinggal ingatan. Angie cinta Jevon, dan memendam sakit hatinya...