"Tu-tunggu.. Riza-chan!"
Dua pasang roda itu terus berotasi, Yuuki mengayuh dengan sekuat tenaga demi mencapai kecepatan maksimum agar ia bisa menyusul seseorang di depannya. Hari ini matahari begitu kejam, sinarnya yang makin kuat membuat peluh di wajah pemuda itu bercucuran hingga mata pun nyaris terpejam.
"Jangan sok akrab. Aku bukan temanmu!"
Kesal, gadis yang dipanggil Riza oleh pemuda itu pun segera menambah kecepatan, menciptakan jarak lebih lebar menjauhi Yuuki yang matanya sedikit terpejam terkena sengatan.
"Tapi kau mau kemana? Pak guru bisa marah kalau kau bolos sekolah!"Yuuki tak menyerah, bahkan tak berpikiran untuk berhenti mengayuh.
"Kalau begitu kembalilah sebelum Pak guru memarahimu!"
Jarak antara mereka merenggang, roda sepeda Yuuki pun berhenti berotasi. Ia menatap Riza dari kejauhan yang kini semakin lenyap dimakan jalanan lengang. Yuuki menengadahkan kepala, sebuah bukit hijau di kejauhan terefleksi kesepasang bola mata pemuda itu. Perasaan khawatir akan seseorang mulai berdifusi kedalam pikirannya.
"Riza-chan, sebenarnya kau kenapa.."
Embusan angin tak mengurangi intensitas cahaya matahari saat itu, Yuuki mengayuh kembali sepedanya. Menembus jalan untuk menuju suatu tempat yang ia pikir memiliki probabilitas gadis itu berada disana.
***
Riza menyandarkan sepedanya di sebuah pohon berdaun lebat, kemudian mendudukan diri dibawah pohon lainnya. Sinar matahari tak mampu menembus sela-sela daun dari pohon itu. Dari sini Riza bisa menyaksikan pemandangan desa secara menyeluruh tanpa harus diketahui siapapun, berterimakasihlah kepada tuhan karena telah memberikan tempat strategis untuk bukit ini.
Kedua tangan mungil gadis itu terkepal kuat bahkan sebelum ia sampai ke tempat ini. Sebuah rekaman kejadian terus berputar tanpa peduli bagaimana perasaan yang mengalir dalam benak Riza. Kepingan peristiwa terjalin seiring dengan memuncaknya hawa panas di tubuh gadis itu. Suatu perasaan yang mengendap dalam dirinya sejak beberapa tahun silam kini terancam muncul kepermukaan.
Riza menatap pergelangan tangan kirinya dimana sebuah gelang tersemat. Cerita masa lalu seolah terefleksi secara akurat, bahkan selalu muncul tanpa sekalipun berkarat. Ingin sekali ia melenyapkan benda di tangannya tersebut. Tapi apa boleh buat, sisi lain dalam gelang itu justru menjadi simbol eksistensi dari sosok paling berharga.
"Riza-chan," Seseorang memanggil Riza, terlihatlah Yuuki dengan nafas terengah ketika gadis itu menolehkan kepala.
"Sudah kubilang jangan sok akrab,"
"Lalu aku harus memanggilmu apa? Kau bahkan merahasiakan nama belakangmu."
Riza memalingkan wajah, langit biru kini menjadi sasaran."Ini tak ada hubungannya denganmu, Nishijima-san."
Bagaimana mungkin ia menceritakan masa lalunya pada orang asing? Terlalu kejam memang jika menganggap Yuuki sebagai orang asing, tapi betapapun Riza tak pernah mengakui pemuda itu sebagai teman.
"Pulanglah. Kalau kau kembali ke sekolah Pak guru akan menghukummu. Kau tidak mau dimarahi ibumu, kan?"Riza tak mengerti apa yang ada dalam pikiran pemuda itu. Entahlah apa yang menjadi alasan sehingga bocah itu selalu mengikutinya setiap waktu. Hiperbolis memang.
"Jangan bercanda, Riza-san. Aku bahkan sudah tak punya ibu."
"Oh, maaf." Kata Riza datar.
"..."
"..."
Keheningan mulai berevolusi menjadi atmosfer tak tertembus. Tak terganggu pula oleh angin yang kian berembus. Kedua sosok itu terlihat tak bergeming, walau Yuuki sebenarnya menahan rasa haus.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANSWER
Short StorySesuatu yang berwarna merah menyelimuti hati Riza. Bisakah Yuuki melenyapkannya?