Ia terbangun dalam satu sentakan.
Tubuhnya kaku, seolah ia baru saja disengat listrik, ia hampir tidak dapat merasakan jemarinya sendiri. Bernapas adalah sebuah tugas yang berat, dadanya naik dan turun dalam usaha yang membuat keringat dingin menetes menuruni pelipisnya. Jatuh tanpa suara di tanah yang anehnya lembab—seolah belum lama ini tersiram hujan. Atau terjaga kelembabannya.
Kepalanya pening ketika ia berusaha menegakkan tubuh dan merubah posisinya menjadi duduk tegak. Sejenak, ia tidak dapat mengingat apa-apa. Pikirannya gelap, memorinya dipenuhi kabut tebal, kenangannya samar. Dan hal itu membuatnya panik luar biasa.
Ada apa?
Apa yang terjadi?
Apa?
Siapa namanya?
Siapa dirinya?
Ia ada dimana?
Bagaimana cara ia kembali?
Ke mana ia harus kembali?
Bagaimana caranya?
Telinganya berdenging, semuanya terasa hening. Ia dapat mendengar suara detak jantung dan desir darahnya sendiri. Menggema, membahana dalam kepanikannya. Ia berusaha menggerakan jemarinya, berjengit sendiri ketika merasakan sesuatu menggores telapak tangannya dengan suara desis samar. Hampir tidak terdengar di tengah detak jantungnya.
Ia menunduk, dan melihat bahwa di tangannya, terdapat secarik kertas.
Dengan tangan yang kaku, ia membuka kertas yang sudah dipenuhi lipatan dan ternodai tanah itu. Dengan mata yang menyipit berusaha membaca tulisan yang tertera di atasnya. Sinar bulan yang samar sama sekali tidak membantu, namun matanya mulai terbiasa dengan gelap.
Di atas kertas itu, dengan tulisan sambung yang sangat ia kenali, tertulis satu perintah.
Tulisan siapa? Ia tak tahu. Namun itu sangat familiar; ia mengenalinya. Ia yakin ia sering melihatnya. Sebelum ... sebelum ... sebelum? Sebelum apa? Memorinya mulai samar.
Satu perintah itu sederhana. Hanya terdiri dari dua kata.
Selamatkan Jabberwocky.
Begitu katanya.
Dan seketika, ia tahu siapa dirinya.
Dengan perlahan, ia meraba lehernya, merasakan lembutnya kain yang menjuntai di lehernya, terikat menjadi pita yang mana ujungnya cukup panjang untuk mencapai dadanya. Ia melirik pita tersebut, samar-samar mengenali warna biru cerah yang tampak hitam di dalam gelap.
Satu memori asing masuk ke kepalanya.
Apakah ia percaya?
Memangnya apalagi yang harus ia percaya?
Perlahan, ia berdiri dan membersihkan pakaiannya. Menatap rok rampel pendek yang dihiasi renda dan pita serta kemeja putih polos berlengan panjang yang ia kenakan. Mendadak, ia merasa asing dengan dirinya sendiri. Namun bukankah dirinya yang memutuskan untuk menerima apa yang diteriakkan oleh hatinya?
Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Mata cokelat tua melirik ke arah jalan setapak yang dibuat oleh dua semak yang sangat tinggi—dua meter? Lima meter?—sebuah papan berbentuk anak panah menunjuk ke dalam jalan setapak tersebut. Ia dapat membaca kalimat yang tertera dengan sebuah cat hitam.
← Wonderland.
Apalagi yang ia tunggu?
Ia adalah Alice, dan di hadapannya adalah pintu masuk menuju Wonderland.
Ah.
Sebuah senyuman sinis terpeta di wajah Alice. Mata cokelat tua mengintip dari balik helai rambut cokelat panjang, mengamati, berusaha mencari tahu mana yang harus ia percaya.
Oh, ayolah.
Alice tidak memiliki pilihan seperti Alice yang dikisahkan. Tidak ada kelinci putih untuk menuntun jalan. Tidak ada pilihan apakah ia penasaran atau tidak. Hanya ada jalan masuk, tidak ada jalan keluar. Mau tidak mau, Alice harus beranjak dan masuk ke dalam Wonderland.
Setelah mengumpulkan cukup tenaga untuk berjalan, Alice melangkah masuk.
Pintu masuk Wonderland menutup di belakangnya. Kedua semak itu saling bersatu dan menjadi sebuah dinding penuh dedaunan. Sama seperti dinding tanaman yang hanya membentuk satu jalan sebelum menjadi sebuah perempatan penuh bayangan. Tak ada lampu. Tak ada penerangan. Tak ada jalan lainnya. Membuat Alice tahu apa yang tengah ia hadapi.
Ia adalah Alice, dan Wonderland adalah sebuah labirin.
Apa tujuannya sekarang?
Alice memasukkan kertas itu ke dalam sakunya.
Selamatkan Jabberwocky.
Kendati Alice tidak tahu siapa dan apa itu Jabberwocky.
.
.
Sebuah tawa membahana di antara mereka, "Oh, dia masuk! Beneran masuk loh!"
Sebuah decakan lidah, "Jika ia tidak masuk juga akan kita paksa untuk masuk, Idiot."
Tawanya tak berhenti, makin menjadi-jadi, "Wah, wah, jangan begitu dong. Dia kan disebut sebagai yang paling tajam diantara mereka, jadi bukankah wajar bila aku kira dia tidak akan masuk ke dalam Wonderland? Lagipula jika aku jadi dia, aku juga akan curiga."
"Oi, berhentilah tertawa dan cepatlah berpakaian. Ia adalah orang terakhir yang masuk, kita harus segera mengikuti mereka," sebuah suara feminim berkata, menyela dengan keras.
"Uwaah, seperti biasa suaramu keras ya. Aku bersyukur kali ini aku bukan bawahanmu."
"Diam kau. Cepat bersiap atau kutendang bokongmu."
Ia berhenti, "Ah, kalian semua sama sekali tidak asyik."
"Bukan kau yang memutuskan apakah kami asyik atau tidak."
"Ya, ya, ya, terserah kau, Wahai Prajurit Terhormat," ia berpura-pura memberi hormat.
Sebelum sebuah kepalan tangan melayang bersama tendangan, sosok lain menarik kerahnya dan menghindari tendangan yang nyasar ke arahnya sendiri, "Sudahlah, sudahlah."
Sebuah decakan lidah kembali terdengar.
"Alice sudah masuk ke dalam Wonderland. Bukankah akan menjadi sesuatu yang memalukan bila kita tidak ada di tempat untuk menyambut Alice kita yang tersayang?"
Sepasang mata abu-abu cemerlang tertutup ketika ia tersenyum.
.
.
Prologue End
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?