Ia adalah Alice, dan sekarang ia ada di dalam Wonderland.
Tempat ini lebih ruwet dari yang ia awalnya kira. Penuh dengan belokan tajam dan jalan buntu, gelap tanpa sedikit pun penerangan selain sinar rembulan yang samar, penuh dengan sulur tumbuhan dan akar yang siap menyandung dan mengikatnya bila ia tidak waspada, dihiasi kabut tipis dan bebatuan tajam yang membuatnya bersyukur ia mengenakan alas kaki.
Wonderland penuh dengan jebakan yang tak terlihat. Satu langkah yang salah, dan Alice bisa saja terjun bebas ke dalam jebakan sistematis dan penuh perhitungan, seolah telah disiapkan.
Alice tidak tahu apakah ini malam hari, ataukah mungkin selalu malam di Wonderland. Ia mengharapkan yang pertama, karena setidaknya bila pagi datang, ada cahaya. Dan percayalah, Alice tahu akan fakta bahwa malam hari jauh lebih berbahaya dari pagi hari—bila saja mereka sama berbahayanya, setidaknya Alice dapat melihat kemana ia melangkah, kemana ia melarikan diri bila saja yang terburuk tiba.
Kepalanya masih berupa pikiran yang berantakan. Seolah dokumen berisi kenangannya terhamburkan di lantai dan terbuang bersama ide tak penting. Seakan gambar-gambar memorinya dibakar habis tanpa sisa. Ia tahu ada yang salah, instingnya berteriak semua ini salah. Namun ia tak tahu apa yang salah, yang mana yang salah, siapa yang salah.
Suara ranting yang terinjak membuatnya terlonjak tinggi, wajahnya memucat. Reflek, Alice mendorong dirinya masuk ke dalam dinding labirin, duri dan kayu menggores kulitnya, sepasang mata cokelat tua terfokus pada jalan setapak di depannya yang dibayangi kegelapan.
Lama ia menunggu, dan tak ada yang datang.
Seketika Alice merasa menjadi orang paling bego sedunia ketika ia sadar dirinyalah yang menginjak ranting tersebut. Memorinya yang hilang membuatnya paranoid, tetapi suara nyaring ranting tersebut benar-benar membuat jantungnya hampir berhenti. Tempat ini terlalu tenang, terlalu diam, Alice bersumpah ia bahkan tidak dapat mendengar gerisik dan angin.
Dengan perlahan, ia kembali menegakkan dirinya, membisikkan umpatan ketika luka goresnya terasa perih. Setidaknya dari aksinya berusaha bersembunyi di balik dedaunan membuatnya tahu bahwa dinding labirin itu jatuh lebih tebal dan jauh lebih tajam dari yang terlihat. Alice membuat catatan dalam hatinya untuk tidak berusaha menembus tanaman itu.
Yang membuatnya sedikit kecewa, karena ia bermaksud menembus dinding labirin karena mulai lelah berjalan. Jika tersesat, cobalah cari yang mana yang Utara—instingnya berkata demikian. Dan sejauh ini, Alice selalu berbelok ke arah yang ia yakini sebagai Utara, tetapi sepertinya ia salah belok beberapa kali, karena ia tidak juga melihat jalan keluar dari sini.
Siapa pula yang terlalu rajin membuat labirin sebesar tempat ini?
Orang yang kurang kerjaan, pastinya.
Alice dapat melihat rembulan mulai bergeser dari tempatnya—bagus, berarti pagi akan tiba. Namun kapan, ia tak tahu. Alice berharap ia tidak bertemu apapun atau siapapun hingga pagi tiba. Udara semakin terasa pekat dan semakin mendingin, membuat gadis berambut cokelat tua itu mulai cemas hujan akan turun, karena ia tidak melihat ada tempat untuk berteduh.
Alice melongok ketika ia kembali menemui perempatan. Seperti yang ia lakukan setiap menemui persimpangan, mencoba mencari jalan yang terlihat paling terang dari tempatnya.
Dari matanya, ia dapat melihat sebuah pohon menandai perempatan lain di jalan bagian kiri, kegelapan pekat di jalan bagian kanan, dan dua cabang yang mengarah ke arah berlawanan di jalan tepat di hadapannya. Yang mana jalan yang benar? Tidak ada yang mending baginya.
Alice hampir tak melihat sosok itu mendekat ke arahnya.
Namun bila ia melihat sosok itu juga, apa yang dapat ia lakukan?
"Ah, bukankah ini Alice yang tersayang?"
Sumpah, Alice berharap ia punya kulit yang tebal atau setidaknya tahan rasa sakit, karena berlari menembus dinding labirin tanaman yang penuh duri terdengar sangat menyenangkan sekarang. Apapun demi melarikan diri; karena ia tahu sosok ini bukanlah orang biasa.
Bagaimana ia tahu?
Oh, semua orang pasti tahu dari pakaiannya. Dan caranya tersenyum.
Sosok itu adalah seorang pemuda. Hal pertama yang Alice sadari adalah matanya; abu-abu tua seperti jelaga, seolah berpendar dalam gelap dengan kilatan penuh rahasia. Rambutnya pirang dan berantakan, pendek mencapai tengkuk dan dihiasi dengan topi tinggi ala gentleman yang dipenuhi dengan mawar hitam, mawar merah, pita, dan kartu joker di satu sisi, hingga Alice cemas topi itu dapat terjatuh karena menahan berat hanya di satu tempat.
Pemuda itu mengenakan kemeja putih, pita hitam tipis sebagai dasi, dan rompi abu-abu, sertas jas hitam yang dilengkapi dengan celana panjang hitam. Pada satu sisi jasnya, terdapat berlian biru—Alice bersumpah berlian itu bersinar dalam gelap, warnanya cerah dan familiar.
Untuk seorang laki-laki, pakaiannya cukup dipenuhi dengan renda. Kendati lebih sedikit daripada renda di rok Alice. Gadis itu mulai berpikir renda adalah pakaian wajib di sini.
"Aku tidak menyangka aku akan bertemu denganmu di sini, Alice," pemuda itu kembali bersuara. Senyumnya lembut ketika ia berkata. Suaranya ringan dan penuh tawa. Familiar—Alice merasa tembakan pening di kepalanya, seakan ada sesuatu yang menghalanginya untuk mengingat lebih jauh dimana Alice pernah mendengar suara pemuda itu. Satu nama hadir di kepalanya, tersangkut di tenggorokannya, tertutup kabut jauh dari tempat di sudut kepalanya.
Kau tahu, satu perasaan dan fakta bahwa kau tahu, namun kau lupa apa yang kau ketahui.
Alih-alih, yang keluar dari mulut Alice adalah satu nama yang asing.
"Hatter," Alice tidak dapat mengenali suaranya sendiri. Terdengar serak dan berat.
Mad Hatter tersenyum, menurunkan topinya dan menaruhnya di dada, berlutut untuk mencium tangan Alice yang dipenuhi luka karena adegan nekadnya berusaha bersembunyi di balik daun. "Senang melihatmu mengenaliku, Alice. Kurasa akhirnya topi ini berguna, eh?"
Ada yang salah.
Tapi apa?
Alice kita berkomentar ketika Mad Hatter kembali berdiri dan mengenakan kembali topinya. Tersenyum lebar seperti seorang anak laki-laki yang baru saja dibelikan permen. "Kau cepat, Alice. Untunglah aku yang menemukanmu duluan daripada mereka," Hatter berkata santai.
Kedua alis Alice naik beberapa senti ketika ia mendengar kalimat Mad Hatter.
Kemungkinannya kecil, namun Mad Hatter terlihat seperti orang yang baik. Mungkin pemuda ini tahu yang apa atau siapa itu Jabberwocky. Haruskah Alice bertanya kepadanya?
Hatter memperhatikan Alice dari atas ke bawah, memilih untuk fokus kepada luka menyerupai garis merah yang menghiasi kulit Alice, "Kau tahu, kau terlihat lelah, Alice. Bagaimana bila duduk sebentar? Pesta tehku akan segera dimulai. Kau bisa beristirahat sambil makan kue, bagaimana menurutmu?" tawar Hatter, suaranya penuh simpati.
Alice dapat merasakan dirinya merinding.
Insting sang gadis berkata kepadanya, jangan mengikuti pemuda ini. Jangan menerima tawarannya. Ada yang salah. Alarm tanda bahayanya menyala, membuat bulu roma berdiri seketika. Tetapi ini kesempatan pertamanya. Dan kesempatan tak datang dua kali; antara ambil resiko dan mendapatkan jawaban atau bertemu dengan orang lain di dalam Wonderland.
Ia adalah Alice, dan sekarang ia harus menjawab pertanyaan Mad Hatter.
"Itu terdengar menyenangkan, Hatter. Dengan senang hati."
Dan Alice menyambut tangan Mad Hatter. Membiarkan dirinya dibimbing ke dalam kegelapan. Berharap instingnya salah, kendati ia tahu insting pertama selalu benar.
.
.
Chapter One End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
Viễn tưởngSatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?