Cahaya dan Redup

189 19 4
                                    


*

Aku retak oleh sedikit keberuntungan yang kuterima, bersamanya dalam kesebentaran. Lain kali, aku tak ingin berharap lebih. –zarryhendrik-

*

Aku menatap Zee tanpa berkedip,dia sedang menulis sesuatu yang membuatnya nampak begitu serius berpikir. Bibirnya mengerucut dan berkedut lucu, matanya memicing namun bersorot lembut, secangkir teh mengepul dihadapannya. Ia masih sibuk dan aku terdiam menatapnya.

Dia jelas-jelas perempuan biasa. Dia tidak kaya, namun juga tidak miskin. Dia tidak begitu cantik, hidungnya tidak terlalu mancung dan matanya besar tapi juga tidak berbinar, rambutnya lurus panjang dan bibirnya selalu pucat tanpa pulasan lipstick. Dia perempuan biasa. Benar-benar biasa.

Dan anehnya,dulu banyak laki-laki yang tertarik padanya. Mereka bilang,Zee menyenangkan. Zee terlihat pendiam dan tenang.Pertama kali melihatnya, aku tidak pernah menyangka bahwa ia gadis yang begitu ekspresif. Dia tertawa tebahak tanpa tahu malu,dia juga tidak peduli pada penampilannya yang tidak seperti perempuan lainnya. Ia lebih suka mengenakan t-shirt dan celana jeans biasa dan sangat enggan mengenakan rok. Aku pernah bertanya, tapi dia hanya menjawab "Gue jadi gak bisa jalan".

Tapi dibalik raut wajah ekspresif miliknya, aku tahu Zee rapuh sekali. Dari sorot matanya, aku tahu ada kilatan aneh yang mereflesikan hatinya yang lebam. Aku tidak pernah bertanya padanya, juga tidak pernah ingin membuatnya harus merasakan luka itu. Dia juga tidak pernah menunjukkan raut wajah terluka. Jadi ku pikir, ia akan tetap baik-baik saja.

Setidaknya untuk saat ini..

Kini, ia sedang menatapku sambil tersenyum dan aku melihat kilatan aneh itu. Mengapa? Mengapa rasanya ia tidak begitu baik-baik saja? Bagaimana bisa ia tersenyum seperti itu?

Aku tidak mengerti, tapi mungkin hanya dia yang tahu mengapa ia menjadi begitu palsu.

Ia terlalu palsu dan aku sulit untuk menerka apa yang terjadi padanya.

Setelah 10 tahun kami tak bertemu, dia lebih banyak berubah. Dan, aku teringat apa yang ingin aku tanyakan sejak pertama kali bertemu dengannya tadi pagi, sesuatu yang membuat benakku bertanya "Kemana?" sejak tadi.

"Zee.." Aku memanggilnya, ia mengangkat wajahnya.

"Ya?Ada apa?" Tanya nya pelan.

"Bagaimana kabarnya Agil, kau sudah menikah dengannya kan? Dan perutmu buncit, kau pasti sedang mengandung anaknya,bukan?"

Zee tampak menegang, ia menatapku nyalang dan kini, akhirnya aku tahu kilatan aneh dimatanya yang menyedihkan. Itu semua karena satu nama. Nama lelaki yang pernah dan selalu membuat mata Zee berbinar penuh harap.

Agil. Ya, laki-laki itu kemana perginya? Kenapa tidak menemani istrinya yang sedang hamil disini?

Aku melihat Zee tersenyum getir, setelah cukup lama terdiam dia akhirnya membuka mulutnya yang terasa kelu karena sejak tadi berdiam diri, tangannya bergetar menahan air matanya yang hendak tumpah.

"Agil.. Sudah meninggal."

Dan aku melihat setitik airmata yang terjatuh di pipinya.

*

Jakarta, 2004.

Rintik hujan baru saja berhenti di ruas jalan setapak yang dipijak oleh sepatu kets lusuh milik seorang perempuan yang sedang terdiam menatapi rumah yang terlihat sepi. Kakinya menolak untuk melangkah mendekati pintu, namun pikirannya tak bisa diajak bekerjasama.

Cahaya dan RedupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang