Ananda Yolanda ternganga di depan pintu rumah megah yang terbuka lebar seakan menyambutnya, matanya yang terbingkai kacamata minus berwarna merah tua terpaku untuk beberapa sekon ke depan dengan keheningan. Air mukanya lucu, mengundang kikikan Agapito Dwi Putra.
"Laler mampir boleh, dong," Agapito berujar dengan geli sembari mengatupkan rahang Yola yang kemudian tersadar dari keterpukauan dan mulai sepenuhnya beratensi kepada wajah tampannya. Ia tersenyum miring. "Norak."
Kemudian Yola mencebik kesal dan memajukan bibir bawah sembari menatap Agapito tajam. Pemuda ini selalu berada di sampingnya bersama semua perkataan pedas dan menusuk. Pada titik ini ia selalu bertanya-tanya mengapa hatinya bisa dengan idiot jatuh untuk laki-laki seperti ini? Oh baiklah, alasannya sederhana, Agapito ganteng. Sudah. Dan ia menerima dengan sepenuh hati tentang keburukan cowok itu. Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan yang komplit dengan kekurangannya. Agapito yang tampan, dan kasar untuk kekurangannya. Sempurna –tapi akan lebih sempurna jika saja cowok itu bisa sedikit lembut perkataannya.
"Gue bawa lo ke sini bukan untuk mengagumi rumah gue, Yol," ujar Agapito lantas berjalan masuk tanpa memedulikan Yola yang masih terpekur di depan pintu. Ia melempar tas punggungnya ke sudut sofa dan melempar tubuhnya ke sana, yang kemudian menghadap tubuh berisi cewek di depan rumahnya. Ia mendesis malas. "Yol, ayolah ... jangan bercanda. Yakali lo ngerjain pe-er gue di sana sementara guenya di sini."
"Lo...." Yola membawa tangannya menggaruk tengkuk yang terselimut kerudung seragamnya dengan canggung, malu-malu menatap Agapito yang melemparinya tatapan malas. "Lo nggak nawarin gue masuk."
"Ya ilah...," Agapito mengerang kemudian melipat kakinya, bersila di atas sofa dengan masih bersepatu. "Kudu banget gue nawarin lo masuk, he? Lo hidup di jaman globalisasi, Yol, bukan jaman manusia purba lagi. Plis, ya, lo ... ergh! Masuk!"
Sembari mulai melangkah masuk dengan sedikit menunduk, Yola menggerutu, "Jaman globalisasi ya jaman globalisasi aja, nggak perlu sok kebarat-baratan dengan bertingkah secuek itu tanpa memerhatikan adat istiadat daerah. Dasar nggak nasionalisme."
Ketika Yola duduk agak jauh di sofa yang ia duduki, Agapito mendesis lagi lantas melempar tasnya kepada cewek itu. "Gue denger, Yol...."
"Oh denger? Ya bagus, dong, biar bisa intropeksi," sahut Yola santai, bahunya menggedik tak acuh sembari membuka tas Agapito dan mengeluarkan buku paket serta catatan mata pelajaran sejarah cowok itu. Ketika membuka buku catatan yang bergambar salah satu bintang klub sepak bola dunia Real Madrid milik Agapito, yang pertama kali ia lihat adalah sebuah tulisan ceker ayam di bagian belakang sampul.
Agapito Putra.
XI IPA 4/12
"Lo tuh yang harusnya intropeksi," sergah Agapito mendorong bahu Yola, membuat cewek berkerudung itu mengaduh kemudian menatapnya bengis. "Sikap antipati lo terhadap perubahan jaman itu udah termasuk ekstrim. Lo menolak perubahan berarti lo menyanggupi untuk kembali pada masa di mana darah adalah barang murah di tangan penjajahan. Gila aja!"
"To...." Yola turun dari sofa untuk duduk di lantai dan mulai mengerjakan pe-er Agapito di meja, "Nilai sejarah lo masih berada jauh di bawah gue, jadi stop menggurui gue tentang ini, OK? Dan lo terlalu jauh memikirkan kemauan gue, gue menolak sisi hitam globalisasi karena dia menghapus dengan tanpa sisa budaya dan adat istiadat bangsa dari sebagian besar generasi muda. Udah lah lo nggak akan peduli tentang ini karena lo udah terpengaruh budaya barat. Jadi, stop bacot atau gue akan pulang dan pe-er lo nggak selesai."
Kedua tangan Agapito terangkat setinggi dadanya, mukanya pasrah. "OK, bendera putih."
Lalu suasana di ruang tamu itu hening. Agapito memilih tidur terlentang di sofa sembari memainkan ponselnya, sementara Yola memilih membisu dan mengerjakan pe-er Agapito sambil sesekali mencuri pandang ke arah cowok itu ketika ia mendengar suara kikikan lirih dari Agapito.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brille ✓
Teen Fiction"Gue denger semuanya." "Tentang apa?" tanya Yola dengan sedikit kerutan di kening. "Semuanya," Agapito membalas. "Gue kecewa, lo bisa berpikir seburuk itu tentang gue."