9. Menyelami Pikiran Si Budak

426 61 7
                                    

Hampir saja belati yang kuselipkan di bawah bantal meluncur mulus menikam Mirtha saat dia membangunkanku. Untung saja refleks Mirtha cepat, sehingga sebelum tubuhnya terluka, belati di tanganku sudah terlempar ke sisi lain kamar. Aku membuat kegaduhan kecil dengan menyerangnya dalam keadaan setengah sadar. Hingga akhirnya satu tamparan ringan melayang di pipiku dan membuatku tersadar dari kantuk.

Aku segera melepas kedua tanganku yang sedang mencekik lehernya dan mengucapkan maaf. Dia menyuruhku bersiap pergi, karena merasa inilah waktu yang tepat keluar dari Amurega. Kami keluar penginapan di pagi buta saat orang sedang nyenyak-nyenyaknya beristirahat. Jalanan yang kami lewati tidak ramai, tetapi tak sepi pula. Masih terlihat beberapa orang berlalu-lalang, terutama di dekat hainama. Rumah bordil tersebut masih sangat ramai dan riuh dengan candaan serta suara musik.

Masih agak terkantuk-kantuk, aku mengikuti Mirtha yang berjalan cepat di depanku. Walau sudah mencuci muka dengan air dingin, rasanya mataku masih lengket. Aku menepuk-nepuk pipi beberapa kali supaya semakin sadar.

Kami berjalan melalui jalan-jalan yang lebih kecil, sepi, dan gelap. Beberapa kali, Mirtha berhenti, sepertinya untuk memeriksa keadaan. Dia terlihat waspada dan tenang di saat bersamaan. Karena aku selalu tertinggal beberapa langkah darinya, dia terpaksa menggandeng tanganku supaya aku tak lagi tertinggal darinya.

Mirtha menuju sebuah bangunan yang terlihat seperti gudang tak terpakai. Letak gudang itu bersisian dengan jalan kecil yang memisahkan antara dinding benteng dengan gudang. Dia lalu menarikku masuk ke dalam bangunan gelap tersebut. Belum sempat aku menyuarakan kekhawatiran sekaligus rasa was-was di dalam bangunan kosong yang hanya terdiri dari satu ruangan itu saja, Mirtha justru meraba-raba sesuatu di lantai kayu. Setelah terdengar bunyi 'klik', dia lalu membuka pintu tingkap yang tersembunyi di kegelapan.

"Ayo," Mirtha mengulurkan tangan ke arahku.

Aku menyambut ulurannya dengan penuh keraguan.

***

Rupanya pintu tingkap di rumah tersebut adalah pintu yang menyembunyikan jalur penghubung antara bagian dalam rumah menuju luar benteng. Mirtha sepertinya sudah sering menggunakannya, karena dia sangat hafal dengan jalan yang kami lalui, serta belokan mana yang harus kami ambil.

Obor yang kami temukan di dalam jalur bawah tanah sangat membantu kami menelusuri lorong dan berhubung kami sudah sampai di luar, Mirtha mematikan obor tersebut dan membuangnya di dalam pintu tingkap lain yang tersembunyi di dalam sesemakan. Hari masih gelap saat kami berada di dalam hutan, tetapi langit cukup cerah dan rembulan bersinar terang di atas kami, memudahkan kami melihat sekeliling dengan baik.

"Di mana kita?" kataku sambil memandangi pohon-pohon yang berdiri rapat di sekitar kami.

"Hutan Rigut," jawab Mirtha. "Tidak terlalu jauh dari Amurega. Sekarang, ke mana kita pergi?"

"Kita ke Dhamiske," Kataku tanpa pikir panjang. Rencanaku memang masih acak, tetapi ada beberapa hal yang pasti, salah satunya keinginanku untuk menghancurkan Ezbur. Aku harus menemui Eren dan membicarakan 'sedikit' hal dengannya.

"Kalau begitu, sebaiknya kita ambil jalur ini." Mirtha menunjuk jalur setapak yang mengarah ke dalam hutan belantara. "Atau kau ingin kita melalui jalur umum?"

"Tidak." Aku menggeleng. Berjalan pagi buta di tengah jalur umum sangat berbahaya. Bisa jadi ada perampok yang mengawasi kami atau pembunuh bayaran yang sedang mengincarmu untuk dipersembahkan kepada kepala pemerintahan. "Kita lewat sini saja."

Mirtha mengangguk. Saat dia membuka mulut, aku segera menyelanya. "Sebelum itu, kita cari tempat yang bagus untuk tidur. Aku masih mengantuk."

Dahi Mirtha berkerut dalam. Apa pun yang hendak dikatakannya berubah menjadi anggukan tanpa protes. Lelaki itu lalu berbalik, kembali memimpin jalan sambil memanggul tas perjalananku. Mungkin memercayai Mirtha bukan suatu kesalahan.

The Golden AnshokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang