Prolog

16.1K 514 6
                                    


" Jika aku kembali, maka aku akan meminangmu. Tapi jika aku tidak kembali, lebih baik kamu mencari laki – laki lain." Ucapmu tegas dengan tatapan hangatmu seperti biasa.

Aku memandangmu masih dengan senyumku, senyum yang selalu engkau tanyakan aku tersenyum untuk bahagia atau untuk luka yang kau berikan.

" Tidak bisakah kamu berhenti tersenyum? Aku semakin merasa bersalah meninggalkanmu dengan keadaan kita yang seperti ini. Kamu tahu bahwa mimpi ku masih terlalu banyak yang perlu aku capai, aku tidak bisa memberikan suatu kepastian untuk kita akan bagaimana kedepannya sekarang." Katamu dengan nada frustasi yang selalu terdengar jika kamu sudah putus asa akan senyumanku padamu.

Aku menghembuskan nafas pelan lalu mengalihkan pandanganku kearah langit gelap yang terlihat diluar jendela. Sepertinya langit tahu suasana hatiku, sepertinya Tuhan tahu bagaimana perasaanku dan arti senyumanku sekarang.

" Aku ingin menunggu, tapi untuk apa aku menunggu jika kita tahu kita bukan hanya terhalang oleh jarak yang akan menanti kita depan mata, tapi kita tahu dari awal ini soal agamaku dan agamamu. Aku ingin bahagia, tapi aku jauh lebih ingin kamu bahagia. Carilah wanita lain disana, aku tidak ingin kamu mengkhianati Tuhanmu. Tidak usah khawatirkan aku, aku akan baik – baik saja. Aku akan bahagia nanti, karena takdir selalu adil. Pergilah kemanapun kamu mau, kejarlah dan raihlah apa yang kamu inginkan, percayalah aku akan sangat bahagia nanti untuk keberhasilanmu." Kataku lalu meraih secangkir kopi yang selalu kau sediakan di meja itu.

Kau mengusap wajahmu dengan gusar, tatapan hangatmu mulai hilang. Hanya kilattan emosi yang terlihat di matamu.

" Apa bagimu semudah itu? Apakah melepaskan aku pergi semudah itu? Aku bahkan selalu memikirkan perasaanmu sejak aku mendapat surat beasiswa itu. Aku selalu takut kamu akan menangis jika aku pergi, tapi sepertinya dengan kata – katamu tadi kamu akan baik – baik saja. Lebih baik dari awal aku pergi tanpa memikirkan perasaanmu, atau aku tidak usah pamit padamu." Lirihmu dengan nada sinis yang baru pertama kali aku dengar.

Aku hanya tersenyum pahit ketika kau mulai beranjak dari kursimu lalu pergi meninggalkanku sendirian di meja ini.

Kamu selalu seperti itu, selalu salah paham dengan apapun yang aku ucapkan.

Air mataku mulai menetes ketika ku lihat punggungmu sudah tak terlihat dibalik pintu itu. Salahkah jika aku lebih memilih melepaskanmu? Tahukah kamu aku telah mengambil sebuah keputusan besar dalam hidup untuk bersamamu tapi ternyata takdir berkata kamu harus pergi.

Aku semakin terisak mengingat bagaimana kita dulu, bagaimana janji – janjimu. Maafkan aku, berbahagialah untuk hidupmu nanti....

Maaf...





Hijrah, Pernikahan dan Sebuah KepulanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang