Part 4

2.2K 24 0
                                    

Langsung saja ya...
Happy reading semuaaaa

***

Niel Pov

Bidadari? Entahlah, hatiku bergejolak mengingat kejadian tadi siang bahkan entah kenapa hatiku seakan menetujui bahwa gadis itu dalah bidadarinya apalagi ketika ia merengkuh pinggang langsing gadis itu, entah apa itu dadaku begitu perih menahan gejolak yang mampu membuatku tersenyum padanya.

***

"Pagi, mommy." sapaku pada mommy yang sedang mempersiapkan bekal untuk dibawa ke rumah sakit.

"Pagi, sayang. Hari ini kau mau kemana?"

"Kantor." jawabku seadanya.

Mommy menghentikan aktivitasnya, mengernyitkan dahinya seakan menyadari sesuatu yang salah denganku. "Tak bertemj Grace?" tanyanya akhirnya.

Aku menggeleng, mengambil roti bakar yang telah disiapkan di atas meja dan melahapnya.

"Niel, keadaan ayah semakin memburuk, ibu harap kau bisa ada dan membahagiakannya."

"Mom, kau sepertinya melantur ya, tentu aku sebagai anak akan membahagiakannya." kataku tanpa ada sedikit keraguan.

"Aku sudah mengurus pernikahannya, hanya akan berlangsung di gereja dekat rumah sakit. Dua hari lagi, bisa lan?"

Aku menyemburkan susu coklat yang hendak ku telan. Wait, dua hari lagi? "Apa, mom? Dua hari lagi?"

Mommy mengangguk. "Hanya acara kecil, mommy ingin dengan ayah melihat pernikahanmu akan membawa dampak positif baginy, kau satu satunya anak laki laki yang kami miliki, Niel." jelas mommy sambil menatapku penuh harap.

Kupejamkan mataku. "Baiklah jika itu maumu, mom."

Mommy tersenyum, mendekapku erat. "Terimakasih, sayang."

Aku mengelus punggung mommy dengan lembut. "Iya, mom, seharusnya itu kata kataku."

Grace Pov.

"Kenapa kau mengajakku ke sini, kak?" tanyaku setelah diseret Firgia menuju gereja yang terletak di dekat rumah sakit.

"Nanti kau juga tahu, ikutlah aku." titahnya yang sudah memasuki gereja.

Akupun membuntutinya, sampai dipucuk altar aku melihat pria kokoh yang sedang berdiri membelakanginya - Niel.

"Sudah datang." kata Firgia membuat Niel menoleh padaku.

Ia mengangguk, tatapannya terlihat lesu, sungguh berbalil dengan Firgia yang kini terlihat senang.

Niel menatapku, menyentuh jariku perlahan. Jantungku ikut bertingkah.

"Ikutlah, ada yang harus kukatakan." katanya sambil menuntunku berjalan di sepanjang altar, sampai pada ujungnya. Ia menunduk, segaris senyum terukir di bibirnya. Kemudian ia berlutut di depanku.

Apa yang akan ia lakukan? Jangan jangan ia akan melamarku di sini. Akh! Hentikan pikiranmu, ini hanya omong kosong belaka, mana mungkin ia akan melarku, ia sudah melarku di kafe dengan surat perjanjian.

Ia mengengeluarkan kotak beludru dari balik jasnya, ia mendongak, menatapku penuh dengan - cinta bukan! Akh, entahlah.

"Aku yakin kau akan menerka apa yang sedang kulakukan. Ketahuilah, aku melakukan ini semua demi mengikatmu dalam satu ikatan yang akan segera kuresmikan di rumah Tuhan, tempat di mana aku juga akan mengajakmu untuk menginjakan kembali kakimu menyusuri altar panjang ini dalam ikatan yang lebih dalam..."

aku terenyuh dengan kalimat romantis yang ia ucapkan. Meskipun aku tahu ini sandiwara.

Ia menghela napasnya. Dan membuka kotak beludru berwarna merah itu perlahan, gemilau cincin perak yang berdesain cantik itu terlihat. Aku menatap Niel tak percaya, apa yang sedang dilakukan oleh si bodoh Niel?

"Maukah kau ku ajak untuk menempuh hidup baru bersamaku? Dalam ikatan yang lebih suci. Will you marry me?" ucapnya penuh dengan penegasan.

Jantungku berdetak, mataku terasa panas. Oke, jangan menangis, jangan kebaperan Grace. Ku tutup mataku, sedangkan telingaku masih berdenging pernyataan yang di ungkapkan Daniel.

Will you marry me?

Kutarik senyum tipis dari ujung bibirku. Kemudian mengangguk. Gila jika aku tak menyetujuinnya, bahkan pernikahan ini sudah tertulis rapi dalam kertas perjanjian yang sudah ditandatangani.

Ia mengeluarkan cicin itu dari pengaman, menyempatkannya pada jari manis kiriku. Aku benar benar terbawa suasana, airmataku seakan ingin tumpah. Bagiku menikah hanya sekali, mendengar lamaran seseorang juga sekali, akh! Ibu, aku dilema.

Entah sejak dari kapan airmataku menet, setelah Niel selesai menyempatkan cincin itu ia bangkit dan berdiri di hadapanku, menghapus airmataku dengan jarinya.

"Jangan menangis" desisnya dengan nada yang lembut - atau memang dibuat buat?

Aku tersenyum kemudian mengangguk.

Tangannya turun menyentuh bahuku sementata tangan kanannya ia gunakan untuk mendongakan daguku. Oh tidak! Jangan katakan kalau Niel...

Perlahan ia mendekat sambil memejamkan matanya. Seperti terhipnotis akupun ikut memjamkan mata. Oh, God!

Bibirnya mendarat sempurna di atas bibirku. Perlahan ia gerakan bibirnya untuk melumat bibirku dengan halus, tangan kanannya berpindah dan menekan tenguku. Menuntutku untuk membalas ciumannya.

Dengan hati hati aku menggerakan bibirku, kakiku benar benar terasa lemas jadi ini rasanya berciuman, akh! Grace, ini ciuman pertamamu, dan kau memberikannya pada laki laki sedingin kulkas? Akh, teruskan sandiwaramu! Batinku berteriak.

Bibir kami masih bertaut, melupakan sosok Firgia yang masih mematung sambil menghapus airmatanya di ujung altar di depan pintu.

Setelah kami kehabisan napas, pungutan bibir kami terlepas. Aku melihatnya, wajah tegas dan aura dingin yang terpampang di wajahnya. Aku tersenyum.

"Teruskan sandiwaramu, tuan Daniel." sindirku menirukan nada datarnya.

Ia ikut tersenyum, merengguh tubuhku kedalam pelukannya. Aku merasakan napasnya berhembus di sela sela leherku. "Aku harap bukan lagi sandiwara." ucapnya berbisik yang masih bisa aku dengar.

***

Wahh author sampe ngiler bayangin acara lamarannya si Grace. Biarpun cuma sandiwara tapi author bangga pafa kalian, Grace, Niel, aktingnya bagusss

Authornya berlebihan hahahaha sorry baper sih

Happy reading ya.
Typo masih bertebaran dimana mana,
Jangan lupa vote dan commen ya

Regards

Sijum

WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang