Chapter 1 - Memori

664 56 25
                                    

Mataku tak berhenti memandang bintang dari jendela kamarku. Tentu saja itu bukan bintang sungguhan. Entah sejak kapan bintang terakhir kehilangan cahayanya dan tidak lagi menampakkan diri ke muka bumi. Aku menghela napas, menundukkan kepala lalu mendongak lagi. Angin bertiup menelisik diantara rambutku, membawa ingatanku ke masa lalu itu lagi.

Masa ketika ledakan-ledakan memaksaku menutup telinga. Orang-orang tergesa-gesa dibawa masuk ke dalam shelter. Sebagian orang bisa selamat masuk ke shelter tanpa terluka sedikitpun, termasuk keluarga kerajaan. Lalu orang-orang mulai terluka mulai dari yang hanya teluka ringan, hingga terluka parah. Kemudian pintu shelter ditutup. Kami tak bisa menampung lebih banyak orang yang terluka, terlalu berbahaya. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, banyak sekali warga yang memohon untuk diijinkan masuk ke dalam shelter. Namun sejak saat itu, pintu shelter tidak pernan dibuka kembali.

Hampir tujuh tahun, tapi ingatan itu tak penah hilang, bahkan memudar pun tidak.

"Lady Catherine, Yang Mulia Ratu Esme," Bella, pelayan pribadiku, membuka pintu sambil mempersilakan ibuku masuk.

"Kau belum tidur, Catherine?" ibuku menyapa dengan pelan. Aku menoleh dan tersenyum.

"Kau sedang memikirkan sesuatu?" tanya ibuku lembut.

"Hanya beberapa persiapan untuk sidang besuk," aku termenung, sedikit berbohong, "Apa ibu tahu kenapa tiba-tiba ayah meminta seluruh Ladies dan Lords ikut bergabung dalam sidang besuk pagi?" aku bertanya. Tidak biasanya hal seperti ini terjadi.

"Ada sesuatu hal yang harus dibicarakan. Tidak hanya Raja, Ratu, Lords, dan Ladies saja. Namun para mentri dan pemimpin clusters juga akan hadir," ibuku menjelaskan.

"Apakah terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan?" tanyaku lagi.

Ibuku hanya termenung beberapa saat. Terlihat sedang menimbang-nimbang akan menjawab atau tidak. Lalu dia hanya tersenyum, "Kau mau mendengar cerita sebelum tidur?" ibuku memilih untuk tidak menjawab pertanyaanku.

"Tentu saja," aku mengangguk semangat, pura-pura tidak menyadari bahwa ibuku mengalihkan pembicaraan. Aku menutup jendela dan naik ke atas tempat tidur. Bergelung di dalam rangkulan tangan ibuku sambil menaikkan selimut.

"Cerita apa yang ingin kau dengar, sayang?" ibuku mengelus rambutku perlahan.

Aku menimbang sesaat, "Tentang kehidupan sebelum di shelter. Tentang bagaimana rasanya saat hujan turun." Aku memutuskan. Usiaku dua belas tahun saat aku diungsikan ke shelter bersama keluargaku. Tak banyak yang bisa kuingat tentang kehidupan di luar shelter kecuali beberapa perintah-perintah memaksa dari para penjajah.

"Ibu sangat menyukai hujan. Saat kecil ibu sering bermain di bawah guyuran air saat hujan sedang turun. Seperti membasuh dirimu dengan air langit. Kau bisa merasakan air turun dari kepala hingga kakimu. Dan aroma tanah basah ketika diguyur hujan adalah aroma terbaik. Kau bisa. . ." pelan-pelan cerita ibuku saudah tak terdengar lagi. Detik berikutnya aku jatuh dalam tidur lelap dalam rangkulan ibuku.

Pagi harinya aku sudah mendapati diriku di bawah guyuran shower. Aroma violet merebak dari air yang mengalir dari atas kepalaku. Aku menghela napas, mimpi buruk itu datang lagi. Mungkin ini alasan kenapa ingatan tujuh tahun silam itu tak pernah hilang dari memoriku. Karena dia terlalu sering menyapaku setiap malam. Degan alur yang sama, akhir yang sama, dan perasaan bersalah saat bangun yang sama.

Aku mematikan air shower lalu mengenakan jubah handuk yang sudah disiapkan Bella. Saat aku keluar kamar mandi, gaun putih selutut sudah tergantung di samping tempat tidurku. Aku berganti pakaian lalu duduk di meja rias. Dua perempuan berumur dua puluh lima tahunan masuk ke kamarku.

"Selamat pagi Lady Catherine. Hari ini anda ingin model rambut seperti apa?" salah satu dari mereka mulai menyisir rambutku. Yang lain memoles wajahku dengan krim wajah.

"Formal," jawabku singkat. Perempuan yang menyisir rambutku mengangguk mengerti lalu mulai menatanya perlahan-lahan. Si perias wajah pun tak berhenti mendandaniku.

"Bagaimana, My Lady?" aku membuka mata, mendapati rambutku sudah digelung ke atas dengan pita peach di bagian kiri. Aku mengerutkan dahiku sekilas.

"Terlalu formal," kataku, "Aku ingin digerai saja, sedikit berombak,"

Si penata rambut tersenum, "Baiklah."

Lima menit kemudian riasan dan rambutku telah selesai. Bella masuk saat dua perias tadi keluar. Membawa sepasang sepatu peach senada dengan bando yang bertengger di kepalaku. Setelah aku mengenakannya dia menyerahkan sebuah tablet padaku.

"Semua dokumen untuk sidang hari ini ada disitu. Aku akan ada di luar ruangan, jadi kau bisa memanggilku sewaktu-waktu jika kau butuh," ujar Bella sambil merapikan lengan gaunku yang sedikit tidak rapi,"Lord Count dan Lord Kevin sudah menunggu anda di luar, Lady Catherine," dia melanjutkan.

"Ini sudah tujuh tahun Bella. Berhentilah bersikap formal dan panggil aku Kate saja."

"Ini adalah tugasku, My Lady," dia tersenyum. Aku mendengus.

Saat aku keluar kamar sudah ada beberapa pengawal di luar ruanganku Count dan Kevin juga telah siap dengan setelan jas mereka. Aku melemparkan senyumku pada Count, dia balas tersenyum.

"Apa kau terlalu banyak makan mie instan malam ini, Kate? Sampai-sampai rambutmu keriting begitu," Kevin mulai mencemoohku. Aku pasti sudah menjitak kepalanya jika Bella tidak menggenggam lenganku.

"Kita harus ke ruang sidang sekarang, Lady," ujar Bella sambil menyerahkan Americano di dalam cangkir kertas. Aku menghela napas. Lalu berjalan di tengah Count dan Kevin menuju ruang sidang diikuti empat pengawal dan dua penjaga di depan kami.

"Menurutku rambutmu baik-baik saja. Kau bahkan terlihat lebih manis," itu suara Count. Aku tidak berani menengok walau hanya sedikit, takut jatuh ke dalam mata teduhnya yang memabukkan. Namun, aku berani bersumpah. Aroma maskulin Count yang sudah ku hapal mati sedang menguasai indera penciumanku meskipun saat ini aku senyesap kopi yang diberikan Bella.

Dua pelayan di depan pintu membungkuk dalam saat rombongan kami datang. Lalu tanpa mengatakan apapun mereka membukakan pintu. Para perdana mentri dan pemimpin cluster yang ada di dalam ruangan berdiri dan memberi hormat lalu duduk kembali saat kami duduk. Tak lama kemudian tiga raja dan tiga ratu masuk ruang sidang. Semua orang bangkit dan memberi hormat.

Sidang besar ini pun dimulai.

Antidote (Penawar Racun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang