13 Maret

17.1K 2.7K 1K
                                    

[cerita ini juga di-post di blog aku. jadi, kalau kamu nemu cerita ini di suatu blog, mungkin aja itu blog aku. tapi, kalau cerita ini ditemuin selain di sini dan di blog aku, berarti mereka plagiat wkwk]

[]

Usiaku saat itu hanya tujuh belas tahun. Dengan wajah tampan yang dilengkapi rambut berantakan dan kulit sawo matang ini, aku yakin gadis-gadis seusiaku di sekolah akan memasang mata mereka padaku.

Sayangnya, aku tidak sekolah.
Salahkan orangtuaku, yang meninggalkanku sendirian. Satu tahun lalu, mereka mati karena kecelakaan. Yah, aku bisa apa?

13 Maret, aku sedang berbaring di atas rumput di bawah pohon dekat rumah-hal yang sama seperti yang kulakukan hari sebelumnya, sebelumnya, sebelumnya lagi, dan sebelumnya-semenjak aku hidup sendirian.

Aku pikir hari itu akan sama membosankannya seperti hari-hari yang kulewati. Namun, sesuatu berwarna putih yang tergeletak di sebelahku mengusik perhatianku. Sebuah surat. Berdasarkan huruf-huruf yang tertera, surat itu untuk Tuan Montgomery.

Tuan Montgomery dan keluarga tinggal hanya dua rumah dari rumahku. Mereka jarang bergaul dengan orang-orang kompleks ini. Lagi pula, wajah semua Montgomery seperti telur busuk. Aku yakin orang-orang juga malas bergaul dengan mereka.

Tetapi, aku tidak sibuk saat itu. Jadi, kupikir, bukan ide buruk untuk mengantarkan surat putih itu kepada seseorang yang seharusnya menerimanya, kan?

Aku pun bangkit, menepuk-nepuk celanaku yang tertempel rumput-rumput, dan berjalan menuju rumah Montgomery dengan sebuah surat di tanganku. Setelah menapaki keset buluk di depan pintu, aku mengetuk papan biru tersebut sebanyak tiga ketukan.

Tidak ada jawaban.

Aku mengetuk lagi.

Masih tidak ada jawaban.

Lagi, dan kali ketiga lebih keras. Hasilnya nihil.

"Tuan Montgomery?" Aku setengah berseru, sambil mengetuk papan di depanku lagi untuk yang keempatkalinya.

Dan hasilnya juga sama saja, untuk yang keempatkalinya.

Aku berdecak kesal. "Terserahlah." Aku mengomel, lalu berbalik.

"Jangan."

Aku menahan napas, terkejut. Seorang gadis. Berdiri, tepat di depanku.

"Jangan pulang," bisiknya pelan. "Masuk saja. Buka pintunya. Dia ada di dalam."

Aku memadangi gadis dengan rambut hitam panjang dan kulit pucat itu. "Siapa kau—salah satu Montgomery?" Aku bertanya, walau wajah gadis itu sama sekali tidak khas Montgomery.

Gadis itu menggeleng. "Tidak, tapi aku tahu mereka. Sudah, buka saja."

Aku memandangnya tak yakin, kemudian berbalik dan meraih kenop pintu. Tapi, aku tidak berhasil memutarnya. Terkunci.

"Ah, ya. Sini, aku saja yang membukanya," kata si gadis, dengan suara sehalus angin yang berhembus. Kemudian dia melangkah maju, dan melakukan hal yang kulakukan sebelumnya. Tapi kali ini, sebuah bunyi ceklek pelan mengisi udara.

Sebelum dia mendorong papan biru yang sudah kuketuk empat kali, gadis bersuara angin itu menoleh. "Kau," mulainya, "mungkin akan terkejut melihat ini."

Setelah itu, dia mendorong pintu.

Dan, teori kau-mungkin-akan-terkejut bukan hanya sebuah perkiraan yang tak berdasar. Aku memang terkejut. Sangat, biar kutambahkan.

Mataku melebar. Dari apa yang kulihat dalam rumah itu, yang bisa kusimpulkan hanyalah aku sedang berada di depan rumah yang sepenuhnya hancur. Tapi begitu memandang luarnya, aku hanya melihat rumah yang terbungkus rapi; sama sekali normal.

"Apa yang—"

"Masuklah." Gadis itu memotong pertanyaanku dengan tenang.

Keingintahuanku mengalahkan rasa takutku akan apa yang telah terjadi di dalam rumah itu. Aku melangkah masuk, dan tepat setelah itu, pintu terbanting menutup dengan sendirinya, seolah-olah ada angin kencang yang menghantam papan tersebut.

Maksudku sepenuhnya hancur adalah, bahkan saat aku memandang ke atas, yang terlihat hanyalah langit kelabu dan awan mendung. Langit-langit rumah itu bahkan tidak ada di tempatnya seharusnya berada.

Aku teringat sesuatu. "Tapi, tadi kau mengatakan Tuan Montgomery ada di dalam sini," kataku.

Gadis itu tersenyum. "Memang ada," katanya lembut. Tangan kananya terangkat, menunjuk segunung tubuh yang bertumpuk-tumpuk. "Lebih tepatnya, hanya tubuhnya, sih. Di situ. Sudah mati, bersama keluarganya."

Aku menahan napas. Bagaimana mungkin gadis itu bisa berkata hal tersebut dengan begitu tenang?

"Yah, sayang sekali, kurasa surat di tanganmu itu tidak akan sampai kepadanya."

Bahkan dia malah mengkhawatirkan Tuan Montgomery karena salah satu suratnya tidak sampai—bukan mengkhawatirkan seluruh Montgomery yang entah bagaimana sudah mati!

"Tapi bagaimana—maksudku—aku sama sekali belum pernah mendengar hal ini sebelumnya."

Masih dengan senyumnya, ia membalas. "Yah, kau ingat, kau tidak bisa membuka pintu tadi—hanya aku yang bisa membuka pintu rumah ini."

Melihat pandangan bingung dan curigaku, dia melanjutkan. "Hal yang sama terjadi kepada rumahku."

Aku dibuatnya terkejut, lagi. "Oh, maaf."

Walau begitu, aku tidak tahu apa hubungan hal itu dengan pintu yang tidak bisa dibuka. Namun, aku memutuskan untuk tidak bertanya.

"Yah, begitulah. Yang bisa kuingat hanyalah tiba-tiba rumah kami bergetar, langit-langit dan tembok runtuh, dan kami semua mati—keluargaku."

Aku hanya bisa memandangnya iba, yang dia balas dengan senyuman.

Kemudian, keheningan menjalar. Dan karena itu, aku menyibukkan diri memandang seisi rumah.

Yah, bangunan itu tidak bisa disebut rumah lagi, sih. Semuanya hancur lebur. Tapi bahkan, tidak ada lumut atau rayap atau makhluk hidup lainnya di dalam situ—hanya ada kehancuran dan tubuh-tubuh tidak bernyawa.

"Tidakkah kau mendengarku?" ucap gadis itu memecah keheningan, membuatku menoleh. Matanya menatapku tajam, kali ini tanpa senyuman. "Aku bilang, kami semua mati."

Aku makin menatapnya iba. "Yah, kau pasti benar-benar tertekan. Semua orang meninggalkanmu, hanya kau yang berhasil—"

Tapi, kalimatku berhenti ketika sebuah gagasan yang amat mengerikan membuatku syok. Mataku melebar; aku diliputi rasa takut.

Aku merasa, bumi  seperti menelanku bulat-bulat.

Kami semua, katanya?

"—atau kau—?"

Kumohon, aku belum mau mati, pikirku—maksudku, dengan kenyataan bahwa aku berada di rumah dengan pintu tertutup yang hanya bisa dibuka gadis yang entah bagaimana asal-usulnya itu, bagaimana mungkin aku masih bisa berpikir hal lain selain hidupku yang akan segera berakhir?

Dan, gadis itu memberiku senyuman khasnya, yang kini terasa mengerikan. "Ya. Aku juga mati."

Dengan itu, ia mengulurkan kedua tangannya, meraih leherku dan mencekikku tanpa belas kasihan.

Hari itu, 13 Maret, aku menyusul kedua orangtuaku.

Catat itu dalam kalendermu.[]

The House of the MontgomerysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang