"Riana?" aku langsung memutar tubuhku 180 derajat saat mendengar suara di belakangku. Aku langsung bernapas lega saat mengetahui orang yang berdiri di pintu dapur adalah Rian. Rian masih mematung memandangku tanpa berkedip, seharusnya kan aku yang mematung karena kaget setengah mati gara-gara suara Rian.
Aku berjalan mendekat ke arahnya, aku langsung menjetikkan jariku di hadapannya. Ternyata dia masih bisa berkedip, untunglah. "Lo gakpapa, Yan?"
Rian masih saja mengerjap-ngerjapkan matanya seperti orang bangun tidur yang masih mengumpulkan nyawa. Akhirnya dia menatapku yang berdiri di sampingnya. Rian menatapku tajam dengan tatapan bingungnya. Aku yang gak kalah bingung dengan sikap Rian juga menunjukkan ekspresi yang sama. Selama sejenak, mata amber kami saling bertatapan. "Lo Riana kan?" akhirnya Rian ngomong juga.
"Lo amnesia lupa sama gue?"
"Gue mau pastiin aja yang di depan gue ini bukan hantunya Ana." Hantu dia bilang? Ngarep banget kayaknya kalo aku mati.
Pletak. Aku langsung saja menjitak kepalanya, mungkin tadi dia terbentur sesuatu sampai otaknya geser. "Seneng banget lo kalo gue mati?" tanyaku ketus. Aku langsung keluar dari dapur, meninggalkan Rian yang masih berdiri di tempatnya. Mungkin emang bener otaknya geser sampe dia gak bisa gerak. Mending aku langsung tidur aja dan berharap otak Rian bakal normal lagi besok pagi. Kalau belum normal juga mungkin akan aku ke psi---.
Aku langsung berhenti melangkah saat aku merasakan ada yang memelukku dari belakang. Ternyata Rian yang memelukku. Tungu, tunggu. Sekarang aku makin yakin kalau otaknya si Rian ini geser, lagian kenapa dia peluk-peluk. Paling juga dia meluk aku kalau dia lagi galau atau gak aku yang lagi galau.
"Kenapa lo? Galau? Diputusin Faye?" tebakku asal.
"Sembarangan aja lo kalo ngomong." Lah ngomongnya udah balik lagi kayak biasanya. Mungkin otaknya udah balik normal lagi.
"Habis lo aneh dari tadi. Sekarang tiba-tiba aja meluk gue," ujarku mengutarakan keanehan Rian.
"Gak boleh meluk saudara sendiri?"
Hah?
"Fix lo sakit ya? Tiba-tiba aja mau ngakuin gue jadi saudara. Kepentok apaan kepala lo?"
Pletak. Satu tangan Rian terlepas dari pinggangku dan langsung menjitak kepalaku. Aku hanya mengaduh dan mengelus kepalaku yang baru saja dijitak Rian. Pembalasan tuh kayaknya. Rian membalik badanku menghadap ke arahnya.
"Kembaran gue balik." Suara melengking Rian memenuhi apartemen ini, dia lagi-lagi langsung memelukku. Tadi dia sadar gak ya kalo teriak histeris kayak cewek, bilangnya aja males sama cewek cheers yang suka histeris dan teriak gak jelas. Oke aku salah fokus. Aku baru sadar kalo ucapan Rian tadi sama kayak ucapan Luke.
"Balik apa? Gue baru pergi beberapa jam dan lo udah kangen sama gue?" Sebenarnya aku tahu apa yang dimaksud Rian. Tapi mungkin jadi lebih seru kalau aku goda dulu Riannya.
"Kepedean lo. Maksud gue penampilan lo. Kalo gini kan agak keliatan kalo kita kembar." Rian menekankan pada kata agak. Ya emang kita bukan kembar identik kan?
"Pengen banget anak satu sekolah tahu kalo gue kembaran lo?"
"Kepedean lagi."
"Udah gue capek. Mau tidur." Aku baru saja mau meninggalkan Rian, tapi Rian menahan tanganku.
"Gimana tadi kencannya?" tanya Rian sambil menaik turunkan kedua alisnya.
"Kencan apaan? Udah gue mau tidur." Kali ini aku bener-bener masuk kamar dan langsung menjatuhkan diriku di atas ranjang. Huh. Hari yang melelahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rian(a) [COMPLETED]
Fiksi RemajaSetelah membaca apa isinya, aku langsung membuangnya ke tempat sampah dekat loker. "Pembalasan baru dimulai." Ya kira-kira begitulah tulisan yang tertulis di kertas yang baru saja kubuang. Entah siapa yang tidak pernah bosan meletakkannya di dalam l...