Kremasi

151 22 2
                                    

Note:
Ini saya tulis untuk tantangan grup DyUtopia Scientialoid. Genre sci-fi/historical/slice of life. 1000 kata. Waktu itu lagi gandrung-gandrungnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan Jerman dan Perang Dunia II. Sekarang sih udah enggak :p Anyway, semoga para pembaca berkenan :)

***

Salju pertama baru turun pada awal bulan November ketika aku mendengar kabar mengejutkan itu: sebuah mayat ditemukan mati mengambang di permukaan Aare yang tenang. Wanita itu hidup sendirian, seorang janda yang suaminya lebih dulu mati di ujung moncong bayonet prajurit Perancis. Tentu saja, seluruh penduduk bersorak menyambut kabar tersebut. Sudah berbulan-bulan lamanya sejak prosesi kremasi terakhir dilaksanakan. Dalam sekejap saja, aroma schadenfreude* pecah di udara. Semua bahagia.

Kecuali aku.

Zytloggetrum berdentang berkali-kali selama sepuluh menit. Gema lonceng menara mengirimkan perintah agar seluruh penduduk berkumpul di krematorium, merayakan pembakaran sebuah jasad. Mama menyuruhku bersiap-siap.

"Otto, ganti mantelmu dengan yang paling bersih." ia berkata sambil memakaikan mantel wol tebal dan syal pada Greta, adikku yang masih belia. Mama sendiri sudah siap dengan gaun rajutan bulu domba dan topi bundarnya. Ia menyunggingkan seulas senyum yang tak kubalas, perasaanku buruk sejak kemarin sore. Untungnya Mama tak menegurku atau menanyakan apa-apa.

Aku beringsut menuju kamar tidur kami bertiga. Apartemen ini hanya memiliki cukup ruangan untuk satu kamar tidur, satu dapur kecil dan kamar mandi. Cat dindingnya kusam dan mengelupas dengan noda-noda gelap bekas bocor di plafon. Kupakai mantel abu-abuku, tak lupa mengenakan syal wol gelap dan topi rajut hadiah ulang tahun dari Mama.

Kulirik sebentar cermin kecil di sudut dinding; seorang remaja tanggung dengan rambut pirang dan wajah berbintik-bintik memandangku balik. Lingkaran hitam tercetak di sekeliling mata birunya.

Kami turun tiga lantai dari apartemen yang sudah menjadi rumah selama belasan tahun. Melewati Zahringerbrunnen yang tak lagi mengeluarkan air mancur, menyusuri lorong-lorong sempit dan lembab Kramgasse, lalu bergerak lurus menuju pusat kota. Serombongan penduduk juga sedang mengarah ke tempat yang sama. Wajah mereka cerah, mata berbinar gembira.

Di sebelah, Greta melepas genggaman tangan Mama pada jemari mungilnya, lalu menarik ujung jaketku.

"Ingat kakek tua gila di Speichergasse itu?"

"Hus, Greta." Mama menegur.

"Memangnya kenapa?"

Aku setengah melamun. Pandanganku tertuju pada langit putih bersih yang sedang menurunkan salju lambat-lambat. Kabut tebal terbentuk menyelubungi puncak Matterhorn di timur, menghalangiku melihat menembus wujudnya yang tegak menjulang.

"Kurt bilang asap kremasinya tengik karena ia suka menghina-hina orang yang lewat depan rumahnya."

"Kurtmu itu anak sok tahu. Tidak usah dengarkan ocehannya." kutanggapi Greta dengan ucapan bernada datar, tahu pasti bahwa ia akan terpancing dengan omonganku.

Benar saja, wajah Greta memerah. Ia mendengus sambil menandakkan kaki pada paving batu yang masih belum licin diselubungi salju. Bukan rahasia lagi kalau ia menyukai teman sekelasnya itu di Pimpfon. Aku berusaha menahan senyum kecil yang timbul.

Tiba-tiba tangan kurus Mama mencengkeram pundakku keras. "Otto." Ia menelengkan wajah ke samping sambil menunduk. Mataku mengikuti arah isyaratnya.

Ah, anjing-anjing Partai rupanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Chopper Stories: An AnthologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang