Back To December

3.9K 252 27
                                    

Kini kita jauh. Semakin banyak langkah yang kita ambil, semakin jauh jarak yang membentang. Mungkin ini salahku, salahku tak berani mempertahankan kamu. Mungkin salah aku, karena aku gak pernah bisa jujur sama kamu. Tapi, Naldo, aku gak bisa. Karena aku gak sebenari itu untuk jujur sama kamu. Mungkin juga ini adalah hukuman buat aku karena gak jujur sama kamu.

* * *

Desember 2010

"Din! Udin!" Aku mendengus, pasti Naldo, emangnya manusia mana lagi yang berani manggil aku Udin?

Aku menutup novelku dengan kencang, "nama gue Dinda! Dan udah berapa kali gue bilang jangan panggil Udin!"

Dia hanya cengengesan, tipikal Naldo. Cowok di depanku ini biasa aja sebenarnya, tinggi standar, kulit gak mulus-mulus banget dan muka yah, lumayan sih ganteng --berterima kasih lah pada alisnya yang tebal. Tapi, honestly, I actually, love him. Mungkin terlambat, tapi sejujurnya aku memang menyukainya.

"Elah, jangan ngambek, Din. Nih gue kasih cokelat," ia mengulurkan cokelat kesukaanku dengan wajah yang masih bete aku mengambilnya. "Mana makasihnya, Din?"

Aku membuka bungkus cokelatnya, memakan satu potongan kemudian menatap Naldo. "Makaseh."

"Dih, kok gak ikhlas gitu?" Naldo memotek satu cokelatku.

Aku mendengus melihatnya, "borok sikutan eta teh, Naldo!"

"Apaan? Jangan pake bahasa Abah lo deh."

"Borok sikutan, udah dikasih diminta lagi," jawabku menjelaskan.

"Ya enggak lah, gue cuma memakan bagian gue," balasnya sambil sekali lagi memotek cokelatku. Cokelat-KU!

Tunggu, Naldo gak biasanya ngasih cokelat kaya gini. "Ini cokelat beneran dari lo, Nal?"

"Gue aja dikasih sama siapa ya namanya? Gak kenal deh," ya ampun cowok ini!

Mungkin kalian akan berpikir dia ini berengsek atau bajingan, tapi kenyataannya adalah dia sulit mengingat wajah dan nama orang. Terutama perempuan. Tapi untuk namaku sih beda perkara, dia memanggilku Udin agar ia ingat namaku. Emang awalnya ngeselin sih, tapi sekarang hanya aku perempuan yang namanya dia ingat --di sekolah. Aku merasa spesial. Kemudian perlahan tanpa dapat aku cegah, rasa itu semakin berkembang. Membuatku menjadi egois dan serakah.

"Din, gue tanding bentar lagi nih, lo harus dukung ya!" Naldo berdiri, menepuk celana birunya kemudian berdiri. "Langsung ke lapangan sekarang, Din. Gue mau pemanasan lagi nih! Dah!"

Aku ikut melambaikan tanganku, membalas lambaian tangannya. Menghela napas, kemudian membawa tas hitamku di bahu kanan. Dari tempatku berdiri saja, lapangan sudah penuh sesak. Malesin banget sih. Yakin deh cewek-cewek itu dateng cuma mau dukung Naldo. Aku sebenarnya gak mau ngakuin sih, tapi Naldo itu emang populer.

Aku melangkah ke sisi selatan lapangan, memang lebih panas, tapi setidaknya di sini lebih sepi. Aku memilih bersandar pada pohon mangga, lumayan gak terlalu panas. Pertandingan di mulai dan aku sudah duduk dengan posisi yang pewe abis. Kalau boleh jujur, aku hanya melihat Naldo bukan pertandingannya sih.

Back To DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang