Serena tersenyum, ia menatap ke arah dimana tangannya tengah digenggam oleh seorang pria tampan berwajah oriental.
Pria itu mengangkat tangan Serena dan menciumnya lembut. Serena hanya bisa terpaku dan tersenyum, menatap tangannya yang sedang dicium. Lama kelamaan, ciuman itu menjalar. Tangannya yang semula kering seketika basah oleh sapuan lidah pria itu. Serena hanya bisa mendesah menahan sensasi menggelitik yang menjalari tubuhnya.
Namun, sensasi nikmat itu hanya bertahan sesaat ketika hujan meteor tiba-tiba menyerang bumi. Serena gelagapan, ia panik. Sekitarnya yang tadi sunyi kini tiba-tiba ramai dengan suara orang-orang yang berteriak histeris dan ketakutan.
Meteor-meteor itu jatuh ke bumi dan mengeluarkan api. Manusia-manusia yang terkena api meteor itu pun tidak hanya gosong, tapi malah berubah menjadi zombie yang menakutkan. Mereka saling cekik dan mengejar. Serena terua berlari ketakutan. Selain menghindari meteor, ia juga harus menghindari zombie-zombie yang mencoba mengejarnya.
Sambil berlari, ia melihat sekeliling. Ternyata tinggal dirinyalah manusia yang tersisa. Dan kini, dirinya menjadi sasaran empuk zombie-zombie yang menyeramkan itu.
Ia terus berlari menghindar dari kejaran para zombie. Sialnya, sebuah wortel raksasa tiba-tiba muncul di hadapannya. Serena yang tak siap akan kehadiran wortel raksasa yang tiba-tiba itupun mau tak mau menubruknya. Dan semua seketika gelap.
★★★
※※Serena※※
Aku terbangun dan mendapati tubuhku sudah tergelak tak berdaya di lantai. Kepalaku pusing, sepertinya membentur sesuatu. Aku mencoba bangkit dan menggapai jam weker yang biasa ku letakkan di atas nakas samping tempat tidurku. Namun, entah tubuhku yang ternyata tidak bangkit atau memang weker itu terlalu jauh untuk ku gapai, tanganku tak juga menyentuh weker itu.
Aku menyerah dan kembali menggeleparkan tubuhku di lantai. Setidaknya weker itu belum berbunyi, artinya belum waktunya aku bangun. Aku memutuskan tidur lagi.
Aku merasakan pipiku basah. Aku menangis? Tidak, aku tidak bermimpi sedang menangis.
"Bangun!" Seru sebuah suara. Aku menggeliat. Mencoba membuka mataku, aku bangkit dan mengumpulkan nyawaku yang entah berkeliaran di mana saja. "Mungkin besok Mama harus menyambungkan weker di kamarmu dengan sound system agar kamu bisa bangun sendiri. Percuma saja kamu mengganti weker berkali-kali kalau hasilnya nihil. Kamu tetap saja tidak bisa bangun sendiri," gerutu Mama kesal. Air dingin itu kembali dipercikkan ke wajahku.
"Kalo Mama pasang sound system ke weker Rena, bukan cuma Rena yang bangun. Tetangga sebelah juga kayaknya ikut bangun," sahutku dengan nada gontai. Aku menguap dan ingin kembali menjatuhkan tubuhku ke lantai. Tapi Mama dengan sigap menarik dua tanganku dan menahan tubuhku agar tidak limbung ke lantai.
"Mama akan buat kamar kamu kedap suara agar suara itu hanya ada di kamar kamu," ujar Mama pelan namun penuh dengan aura intimidasi. Aku melenguh pelan. "Bangun atau Mama akan memotong uang jajanmu!" Ujarnya lagi yang kali ini penuh dengan nada ancaman.
Mau tak mau, aku pun bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi.
★★★
Aku pikir tidak ada yang lebih buruk dari jatuh terjengkang di tengah ramainya siswa-siswa di sekolah. Ini aku yang masih mengantuk atau memang air board ku yang rusak sih? Aku menggerutu kesal. Aku mengusap-usap pasir yang menempel di telapak tanganku dan lututku dengan posisi berjongkok, sampai aku menyadari seseorang tengah berdiri di hadapanku.
Ya? Nathan. Pria paling cool di sekolah. Tidak, bagiku dia tidak cool, melainkan sombong! Tampan memang, tapi tetap bukan yang paling tampan. Yang paling tampan itu tim basket sekolah. Paling pintar? Tidak juga. Yang paling pintar sudah menempati posisi ketua osis. Jadi, apa sebenarnya yang disombongkannya? Dan sekarang, sedang apa dia disini?
Tiba-tiba tangannya terulur, menawarkan bantuan padaku yang memang hendak bangkit. "Kau terluka?" Oke. Sekarang ku ganti pertanyaanku, dirasuki mantra apa dia sampai jadi sok peduli seperti ini?
Aku menangkis tangannya dan bangkit sendiri. "Kau bisa lihat, tidak ada darah di tubuhku," ujarku sambil merentangkan tangan.
Dia tersenyum, "Aku rasa kau bukan lagi anak kecil yang harus membawa mainannya ke sekolah. Dan lagi, ini sekolah menengah atas bukan taman kanak-kanak. Tidak pantas seorang anak SMA membawa mainannya ke sekolah,"
Apa? Mainan katanya?
"Maaf Mr. Nathan. Tapi ini bukan mainan. Sepertinya Anda harus lebih mengenal apa itu air board," ujarku ketus.
Oh, ayolah. Ini kali pertama aku berbicara langsung padanya setelah 2 tahun kami bersekolah di sekolah yang sama. Tidak pernah sekelas dan tidak pernah saling membutuhkan satu sama lain membuat kami saling tak acuh. Dan sekarang? Apa aku harus bertengkar pada percakapan pertama? Tidak, aku tidak ingin memberi kesan buruk pada pengalaman pertama. Aku tidak ingin terkena karma seperti di sinetron alay atau di novel-novel yang menceritakan kesan buruk di awal dan jatuh cinta di akhir cerita. Tidak-tidak. Aku menurunkan egoku dan mulai berbicara lembut padanya.
"Maaf. Tapi jujur, aku membawa benda ini bukan untuk mainan. Ini kendaraanku ke sekolah." Ujarku jujur. Mengingat jarak antara rumahku dan sekolah tidak begitu jauh, orang tuaku enggan untuk mengantarku dengan mobil. Mereka malah menyuruhku untuk berjalan kaki. Akhirnya aku memilih untuk menggunakan airboard agar lebih cepat sampai ke sekolah. Dan sejauh ini tidak ada seorang gurupun yang melarangku karena memang aku tidak pernah menggunakannya sampai jam pulang sekolah.
"Dan terima kasih sudah perduli padaku," ujarku tulus sambil menepuk bahunya.Ia mengernyit, "aku tidak perduli padamu. Hanya saja, celana dalammu menyita perhatianku," ujarnya santai.
Aku berjengit. Apa maksud kata-katanya tadi?
"Maafkan kalimat vulgarku. Tapi kau jatuh dengan posisi terjengkang dan tepat di depanku. Sungguh, aku melihat warna merah muda di balik rok abu-abu itu,"ujarnya pelan. Bibirnya berkedut-kedut pertanda tengah menahan tawa.
Aku jadi bingung. Apa yang harus aku lakukan? Marah kah? Atau?
Akhirnya aku memutuskan untuk lari. Menghindari tatapan nakalnya dan menyembunyikan warna merah padam di wajahku.Ouchh, siapa yang sudah menyalakan api di dekat wajahku? Mengapa wajahku panas? Aku berharap aku tidak pernah bertemu atau berbicara dengannya lagi.
⭐⭐⭐

KAMU SEDANG MEMBACA
Imaginary
RandomSebagai seorang anak yang tidak pernah keluar rumah kecuali sekolah, Serena tidak bisa dikatakan sebagai anak baik dan kalem. Hobinya berselancar di dunia maya dan game online merubah sifat serta sikapnya yang sama sekali tidak mencerminkan sikap an...