Aku terbangun di ruangan serba putih dan masih mengenakan seragam olah raga. Mataku masih menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan. Sepertinya ini di UKS. Ah aku ingat, tadi saat olah raga, ada bola yang mengenai kepalaku dan langsung membuatku pingsan. Baru saja aku ingin bangun, tapi rasanya kepalaku masih sakit. Aku kena lempar bola apa batu sih?
Ceklek.
Vina dan Rian masuk ke dalam UKS, Vina sepertinya membawa nampan makanan.
"Lo udah bangun, Na?" tanya Vina.
"Lo bikin gue khawatir tau, Ana." Kali ini Rian benar-benar khawatir, terlihat dari wajahnya yang sedikit frustasi kurasa.
"Gue gakpapa kok. Cuma pingsan doang juga." Aku mengelus bagian kepalaku yang masih sakit.
"Iya pingsan doang. Sampe dua jam." Cerocos Vina.
"Hah? 2 jam?" aku juga kaget mendengar kalau aku pingsan selama 2 jam. Selama itu?
"Iya, Ana. Kepala lo masih sakit?" tanya Rian perhatian. Emang aku sesakit ini ya sampe Rian gitu banget perhatiannya. Biasanya juga dia ada bercanda-bercandanya.
"Sedikit. Gue juga heran kena bola voli sakitnya sampe kayak gini, kayak kena lempar batu."
"Bola voli pala lo. Lo itu kena bola sepak bola yang keras kayak batu ngelebihi bola voli bego." Kata Vina menggebu-gebu.
"Bukannya tadi materinya bola voli ya?" tanyaku heran.
"Katanya bola itu tiba-tiba aja jatuh dari lantai dua." Jelas Rian sambil mengelus kepalaku. "Lo gak usah masuk kelas dulu ya, gue anter pulang." Rian menatapku teduh. Warna manik mata kami yang sama membuatku seolah menatap diri sendiri saat melihat ke dalam mata Rian.
"Enggak. Gue mau ikut pelajaran aja deh." Gini nih kalau lagi sok rajin. Udah sakit tapi masih ngotot mau ikut pelajaran.
"Gak boleh." Jawab empat suara serempak.
Faye dan Luke sudah ada di ambang pintu UKS. "Lo istirahat aja, Na. Kalo gak mau pulang, paling enggak lo istirahat di UKS." Ujar Faye lembut. Duh senengnya punya temen sama saudara kayak mereka yang perhatian. Tapi aku beneran gakpapa deh, selain kepalaku yang emang sedikit pusing.
"Gak boleh." Jawab Luke dan Rian bersamaan. Mereka saling pandang, "Ana pulang aja." Kata Luke dan Rian bersamaan lagi. Mereka berpandangan sedikit lebih lama seolah bercakap lewat tatapan mata.
"Lo berdua ngusir gue dari sekolah?" tanyaku ketus.
"Gak gitu, Ana. Kamu kan lagi sakit." Kata Luke.
"Gue gakpapa." Kataku tetap keukeuh.
"Nurut sama gue sekali aja, Ana." Nada suara Rian meninggi, aku jadi takut melihat Rian emosi. Rian gak pernah membentakku selama ini, bagaimanapun sikapku. Vina dan Faye terlihat kaget juga dengan ekspresi marah Rian, sedangkan Luke bersikap biasa aja.
"Ayo kita pulang." Terlihat Rian sedang berusaha mengendalikan emosinya. Rian mengalungkan salah satu tanganku di bahunya. Setelah itu berjalan memapahku keluar UKS. Demi tuhan aku masih bisa jika hanya sekedar untuk berjalan sendiri.
"Luke, izinin sama guru." Luke hanya mengangguk dengan ekspresi yang datar dan dingin. Sebenarnya kenapa sama Rian dan Luke?
Sampai di rumah, Rian gak berhenti gangguin aku. Dia selalu ngikutin kemanapun aku pergi, bahkan dia bilang mau tidur di kamarku. Gakpapa sih, cuma masak aku mau ke toilet aja dia juga sampe nungguin di depan pintunya. Aku ambil minum ke dapur juga dia ngikut terus di belakang aku.
"Yan, gue pusing liat lo ngintilin gue mulu." Protesku.
"Udah gak usah banyak protes." Jawab Rian santai. Hhh.. aku lebih memilih tidur dari pada ngeliatin Rian yang gak bisa diam dan terus mengikutiku. Creepy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rian(a) [COMPLETED]
أدب المراهقينSetelah membaca apa isinya, aku langsung membuangnya ke tempat sampah dekat loker. "Pembalasan baru dimulai." Ya kira-kira begitulah tulisan yang tertulis di kertas yang baru saja kubuang. Entah siapa yang tidak pernah bosan meletakkannya di dalam l...