1.0

43 1 2
                                    

"Kita semua terlahir sama, kan?"

Dua mata coklat dan sepasang bibir bertanya kepadaku. Sudah lama semenjak kita berdua duduk sambil menyesap teh, ada rasa sesal berkelebat di depanku kala aku menatap bayangan wajahnya di atas warna gelap teh. Ada sesuatu yang membuat semua pertahanan yang telah aku bangun selama ini menjadi runtuh dalam kedipan mata. Waktu berjalan cepat hingga tak terasa namanya baru kudengar lagi secara jelas sejak bertahun-tahun yang lalu.

"Ya, mungkin aja. Karena semua terlahir dengan keadaan benar-benar gak tau apa-apa. Cuman mungkin karena Tuhan juga ngasih keadaan yang berbeda jadi kadang ada yang gak ngerti cara untuk bertahan"
"Iya juga sih, ah bodo amat topiknya terlalu serius."
"Yaudah terus bahas apa?"
"Auk dah"
"Mau jalan-jalan gak?"
"Ayo tapi gue gak punya duit banyak. Males macet-macetan dah suer. Cukup sudah di Jakarta"
"Dasar anak gaul Jakarta ngomongnya udah lo-gue aja, bosen macet lagi. Yaudah naik kereta aja gimana? Di Bandung kita jalan kaki paling. Kamu kan suka naik kereta dari dulu"
"Terserah gue. Cepetan atuh akang ITB kita jalan"

Tehnya aku minum dengan terburu-buru. Lawan bicaraku tadi sudah berjalan duluan melewati lorong pepohonan yang rindang. Posturnya lebih jangkung dan ideal dari yang waktu itu. Ingat rasanya cintaku pernah tertanam ke hatinya. Tapi dia selalu pura-pura tidak tahu dan malah menanam bunga cintanya di hati seseorang yang tidak pernah menyadari bahwa dia ada. Kini bunga yang telah aku sembunyikan perlahan muncul dan getaran itu kian terasa, aku bingung antara menyembunyikannya lagi atau membuatnya ada dan mengungkapkan secara langsung.

Kereta pun sampai dan aku menengok ke arahnya, gigi gingsul dan lesung pipinya yang jelas sekali aku ingat sedari dulu, kini muncul dan membasuh semua luka yang pernah dia buat tanpa dia sadari.

Kereta juga selalu membawaku pergi ke masa lalu. Ke masa lalu yang berhubungan denganmu dan segala macamnya. Rasanya aku takut jika kereta akan kembali menjadi awal mula kenangan pahitku denganmu. Tetapi lain kemungkinan jika kamu susah melupakan lelaki itu dari pikiranmu.

-

Lelaki itu pun segera meminta maaf setelah menubruknya.
"Eh maafin gue, gue abis ditabrak cowok sialan itu." Sambil senyum-senyum dia pun mengacungkan Dua gelas kopi. Dua gelas kopi merek ternama yang jarang aku beli pun kuterima dengan heran.
"Kamu gak masukin racun kan ke kopinya?" Aku menatapnya sinis
"Yaampun Sena gitu amat sama gue, bertahun-tahun temenan masih gitu aja ih gak rame amat jadi orang" mukanya yang menjadi masam tidak pernah membuatku kehilangan hal yang selama ini telah salah kaprah. Kukira cuman teman, hidup memang susah ditebak.
Matanya menerawang jauh ke atas langit.
Rahangnya menjadi kaku.
Terjuntai rasa sesal di matanya.
Bibir yang terpoleskan warna merah terang itu mulai bergerak membentuk gumaman yang sedari dulu ia lantunkan. Rasanya lampu bohlam di dalam diriku lama-lama akan redup.
"Lo... Masih keep in touch sama Putra?"
Dia lagi. Dia terus.
"Enggak. Semenjak SMP dan sekelas sama kamu Putra jadi berubah gitu ke aku. Aku juga gak tau kenapa."
"Oh... Gue penasaran dia sekarang kayak gimana. Masih ada perasaan ke gue gak ya..." Satu, dua kalimat membuatku sukses menoleh dan mengernyit ke arahnya.
"Putra punya perasaan ke kamu Mi? Sejak kapan? Kok aku baru tau?"
Topik ini sebenarnya daritadi menggelitik isi hati dan pikiranku. Ingin rasanya aku memuntahkan perasaan yang telah lama aku pendam. Naomi, andai kau tahu.
"Ya gitu, gue denger sih gitu. Waktu si Putra berantem sama si Vira. Gue sekilas denger si Vira ngomong kalau Putra emang suka ke gue. Ya gatau juga sih gue. Tapi nginget itu rasanya geli juga ya. Denger orang yang kita suka, suka lagi ke kita. Rasanya gue jadi manusia paling seneng di muka bumi ini hahaha"
Gingsulnya yang mungil muncul malu-malu ketika dia tertawa. Aku selalu jatuh cinta pada gingsul dan tawanya.

Aku selalu jatuh ke dalam lubang cinta tanpa bisa keluar lagi.

Aku selalu terbuai oleh candaan yang biasa dia buat.
Di sebelah Naomi selalu ada aku. Di sebelah aku ada Naomi. Begitu terus sampai-sampai kami kerap dipanggil sebagai pasangan paling romantis satu sekolah.
"Na? Lo kok diem terus gue tanya-tanya gak nyaut"
Rupanya lamunanku bagai ekstaksi yang membuat lupa segalanya.
"Enggak Mi, udah ah. Cabut yuk, aku pingin kesitu tuh. Inget gak? Waktu SMA kita sering ke sana"
"Wih boleh juga! Jalan aja ya, gue pingin bakar kalori Na"
"Bakar kalori apaan kamu kurus kerempeng gitu"
"Dah Sena! Gue ke sana duluan ya!"
"Duh kampret. Naomi! Jangan lari-lari!"
-
Dan di balik kaca jendela seorang anak kecil berlari menghindari hujan. Kami pun menghindari hujan dengan berhenti di sebuah café baru yang beberapa kursinya sudah terisi.
"Woyy Senaa! Duduk di mana??"
Aku menunjuk sebuah kursi dekat pria yang sedang sendiri.

"Sen, gue kesel sama hujan. Kenapa datengnya harus sekarang sih"

"Yakali Mi hujan teh bisa dipanggil sama diusir. Tapi ya enak hujan-hujan gini bisa menghirup udara segar, jalan pun biasanya sepi kan."

"Lah lo mulai lagi lecture-nya. Bosen ah. Liat tuh cowok sendirian gitu kasian ya"

Pria yang daritadi duduk sendiri menoleh ke arah kami. Mungkin sadar kalau dia ditunjuk-tunjuk atau mungkin Naomi dan aku memang terlalu berisik.
"Loh Naomi, sama Sena kan?" Lelaki berpakaian necis itu mendekati kami. Aku dan Naomi bertatapan bingung.
"Siapa?"
Aku dan Naomi bisik-bisik heran, perasaanku sudah tidak enak.
"Ini Putra, masa lupa sama aku? Eh aku tahu makanan sama minuman enak di sini. Aku pesenin ya" dia masih seceria dahulu dengan cara yang berbeda. Aku tidak sadar sampai aku lihat Naomi hanya menunduk karena tersipu malu.
Aku hanya diam dan menatap Naomi. Mata Naomi masih berbinar, masih ada rasa cinta di sana.
"Naomi aku pulang dulu ya." Dengan berat hati aku mengangkat pantatku dari kursi.
"Buru-buru amat Sen, kenapa?"
"Ih kenapa? Lo diem dulu aja Sen, anter gue sampe rumah. Ibu juga kangen kamu Sen, bentar lagi ya Sen please"
"Enggak, Mi aku gak enak badan. Aku pamit dulu ya Put, Mi." Dengan senyuman terpaksa dan gerakkan kaku aku berbalik ke arah pintu. Sepasang tangan memelukku dari belakang.
"Jangan. Sena, jangan."
Aku melepas tangannya dan menatap matanya.
"Naomi, aku sayang kamu"

I know this is cheesy, and I don't know how to make a good ending. Hopefully will post next chapt ASAP.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Broken WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang