0.0

317 36 11
                                    

Rachel nggak peduli dia tidak begitu dikenal di sekolahnya.
Dia anggap hal itu tidak penting. Rachel sudah cukup bahagia dengan hidupnya.

Dulu, dia anggap hidupnya sudah lebih dari cukup.

Tapi itu dulu, bukan sekarang.

Sekarang, suara kecil di pikiran Rachel bilang semuanya masih belum cukup.

''Semua demi Tania.'' batinnya. Mantra itu sudah Rachel ulangi berkali-kali sampai Rachel hampir mempercayainya.

Kata kunci: hampir

Apapun yang Rachel lakukan, suara kecil itu masih tetap muncul di pikirannya. Tapi tak ada salahnya mencoba kan? Rachel benar-benar butuh suara kecil itu musnah.

"Jangan egois Rachel. Tania itu sahabat lo. Lo pengen dia bahagia kan?" Diulangnya kalimat itu pada dirinya sendiri.

"Iya, dia bakal bahagia. Tapi lo nggak pengen bahagia juga? Emang lo pengen liat Tania sama Rahid berduaan dan lo jadi orang ketiga mereka?" Suara kecil itu membalasnya.

"Rahid"

Nama itu lagi.

Sudah berapa kali namanya melintas di pikirannya?
Tiga puluh? Empat puluh?
Yang jelas, Rachel sudah kehilangan hitungan.

"Justru biar gak jadi orang ketiga itu, lo harus move-on, Chel."

Rachel juga sudah kehilangan hitungan dari berapa banyak dia bertengkar dengan dirinya sendiri. Mungkin setelah ini Rachel bakal jadi gila saking seringnya dia melakukannya.

"Sekarang coba pikirin deh Chel. Apa lo bisa move-on dari Rahid?" Balasan suara kecil itu membuatnya diam.

Sama seperti suara kecil itu yang tak mau pergi, perasaan Rachel ke Rahid juga sepertinya tak akan hilang dalam waktu dekat. Apa rasa sakitnya patah hati separah ini?

Rachel rasa, semua ini juga hasil dari kesalahannya sendiri.

Andai dulu Rachel mencoba untuk lebih terbuka dengan semua orang, mungkin ia akan dikenal banyak orang, dan mungkin saja, Rachel dan Rahid bisa kenal lebih dulu sebelum Tania.

Tapi itu hanya 'Andai'

"Ya," bisik Rachel,

"Lebih baik gue yang ngalah."

MOU-VER-SITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang