"Nama papamu siapa?"
"Raka tolong..."
"Siapa?"
"Raka tolong..."
Mata perempuan tua itu membeliak, "Raka tolol?"
"Bukan, Ibu. Dia bilang, Raka tolong... Soalnya di sini kita sering minta tolong pada Raka. Jadi, Mama sering manggil, 'Raka... tolong...," jelas ibu anak kecil itu.
Aku hanya bisa menghela napas. Here we go again, batinku. Pertanyaan itu pertanyaan yang acap dilontarkan pada anak kecil. Mungkin maksudnya untuk bercanda, agar si anak menyebutkan nama orang tuanya. Tapi, ketika mendapat jawaban seperti itu—maksudnya, yang sering salah didengar orang—maksud hati hendak melucu jadi tidak lucu sama sekali. Yang ada, orang terkaget-kaget, terheran-heran. Kok bisa seorang anak menyebut bapaknya "tolol".
Walau mungkin anak kecil, yang adalah anakku, itu tidak bermaksud mengatakan tolol, tapi sejujurnya itulah dugaan yang timbul di benak banyak orang yang mendengarnya.
Sejak pertengkaran hebat kami hampir tiga tahun silam, isteriku memaksa untuk keluar dari rumah orang tuaku. Tinggal di rumah mertua memang sering menjadi masalah. Tapi, bagi isteriku, halnya sudah keterlaluan.
Selesai hiruk-pikuk pesta pernikahan, kami langsung menuju ke tempat orang tuaku. Lebih tepatnya, tempat ibuku, orang tuaku yang masih hidup. Ia datang berbekal sekoper besar pakaian. Itu menjadi pengalaman pertamanya untuk tinggal jauh dari orang tua.
Dinda, isteriku, merupakan bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya yang tertua sudah menikah dan keluar dari rumah sekira delapan tahun sebelum kami menikah. Kakaknya itu menikah tak lama ayah mereka berpulang. Kehilangan seorang ayah bagi keluarga itu merupakan pukulan berat.
Selama ini mereka selalu bersama-sama, seperti rantai yang terkait erat satu sama lain. Hilangnya satu mata rantai memutuskan kekuatan ikatan di antara mereka. Ketika satu mata rantai lagi hilang—tepatnya memisahkan diri, karena setelah menikah kakaknya langsung keluar dari rumah mengikuti suaminya—mata rantai itu seperti dimusuhi. Mereka menganggapnya tidak solider dan mau enak sendiri.
Padahal, begitulah sepatutnya bagi keluarga Batak. Ketika seorang perempuan menikah, ia "dijual" kepada pihak laki-laki. Terserah si laki-laki mau membawanya ke mana. Maka, ketika Dinda menikah, ibunya pun dengan berat hati menyarankan ia untuk tinggal bersamaku di rumah ibuku. Walau itu berarti ikatan rantai itu sudah hancur berantakan. Setidaknya, begitu di mata mereka.
Berasal dari keluarga yang sangat intim, tinggal bersama orang asing sangat berat bagi Dinda. Dia bukan tipe orang yang mudah berbaur dengan orang lain. Aku tahu, dia berusaha keras untuk dapat diterima oleh ibuku.
Sebenarnya, ibuku bukanlah orang yang sulit menerima orang baru. Keramahtamahan Jawanya membuat dia selalu menyapa Dinda. Tapi, mereka selalu tersekap dalam situasi yang canggung dan dibuat-buat. Ya, karena ibu sendiri bukan tipe orang yang ramai dan banyak cakap. Ia irit bicara dan berusaha mengerjakan segala-sesuatunya sendiri dengan cara seefisien mungkin.
Hidup menjanda selama hampir satu dasawarsa membuatnya harus mandiri. Peninggalan Bapak tidak banyak. Kami harus menjual rumah kami yang besar di kota dan membeli rumah yang lebih kecil di kawasan pinggiran. Sisanya dipakai untuk berjalan-jalan ke Eropa sekadar menghapuskan ingatan Ibu akan Bapak.
Aku tak tahu, berapa banyak uang yang tersisa. Selama hampir satu dasawarsa, uang itulah yang dipakai untuk aku sekolah hingga S2. Nyatanya, gelar mentereng tak menjamin aku mendapatkan pekerjaan di perusahaan bonafide. Aku terdampar di perusahaan pengemasan makanan tanpa jabatan keren. Ya cuma staf. Gaji pun seadanya. Tapi aku bangga, di media sosial aku bisa memajang foto jalan-jalan ke Eropa. Orang tak akan berani menduga kemampuan finansialku. Atau kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impian yang Terkandas
General FictionKisah tentang seorang laki-laki yang tak dihargai oleh keluarganya. Dari satu situasi ke situasi lain, ia berkembang menjadi sosok yang keras. Sehingga akhirnya memuncak dalam kemarahan.