"Segala kisah tentang kamu membuat saya tidak waras. Bahagia dan lara selalu hadir, tapi mengapa saya selalu berterima kasih tentang hadirmu?"
===
"Saya tidak suka membaca," kata-katanya terdengar sangat tegas. Jika lebih diteliti, pemuda yang berdiri di hadapannya tidak terlihat sebagai seseorang yang tidak menyukai buku. Setiap garis wajahnya membuat orang-orang sekali lihat saja tahu bahwa pemuda itu kutu buku. Tapi tidak. Dia benar-benar tidak suka membaca.
"Aelous, kamu harus sekali-sekali mencoba membaca. Saya yakin kamu menyukainya. Sama halnya dengan saya."
Aelous menghela napas. "Saya tidak akan mau. Bayangkan, menghabiskan waktu hanya dengan duduk, tidak bergerak, apa yang menyenangkan dari hal itu?"
Pada akhirnya Grana menyerah untuk membujuk pemuda itu. Entah apa yang membuatnya selalu setia menemani pemuda itu kemana pun ia pergi. Keduanya memiliki sifat yang sangat berbeda, Aelous cenderung menghabiskan waktunya berada di tempat ramai atau melakukan aktivitas olahraga, sedangkan Grana menghabiskan waktunya di tempat sunyi untuk sekadar menghabiskan novelnya dalam beberapa jam.
Aelous meletakkan kembali botol minumannya, mengayuh sepedanya yang dalam beberapa detik meninggalkan Grana jauh di belakang.
Grana bisa melihat dengan jelas punggung yang berada di hadapannya. Segera ia menaiki sepedanya, mulai mengayuh. Namun ternyata rantai sepedanya telah terlepas dari tempat seharusnya. Lekat-lekat ia pandang lagi tubuh pemuda itu lalu berkata, "Aelous, rantai sepedaku terlepas."
Aelous tidak mendengar, ia terus mengayuh sepedanya di depan. Grana paham, suaranya yang terlampau kecil tidak akan pernah terdengar oleh Aelous. Dirinya yang terlalu lambat, tak akan pernah bisa berjalan di sisi pemuda itu. Apalagi untuk mengejarnya.
Setelah sadar Aelous sudah jauh meninggalkannya di belakang, Grana benar-benar telah berhenti mendorong sepedanya. Termangu. Tiba-tiba saja air mata dengan kurang ajar jatuh dari pelupuk matanya tanpa tahu Grana sangat enggan mengeluarkan cairan itu. Ia menunduk, menatap wajahnya di kubangan air.
Selama lebih dari empat tahun ia memendam semua rasa yang enggan membusuk. Kadang ia bertanya-tanya sebuta itukah perasanya pada sahabatnya? Sebuta itukah sesuatu yang ia sebut cinta?
Grana terlampau tidak bisa untuk berbicara secara lisan. Hanya bisa berkata-kata lewat tulisan. Namun, setiap kata dalam tulisan yang ia buat tak pernah sedikit pun Aelous mau membacanya. Maka dari itu, perasaannya tidak akan pernah bergerak, tetap berada di persimpangan, yang bisa saja suatu saat mereka berjalan di sisi yang berbeda.
Ia kembali menatap lurus ke depan, mencari-cari masih adakah Aelous di depannya. Tapi, pemuda itu benar-benar telah hilang dari hadapannya. Menggapainya tidaklah mungkin, apalagi mengejar, menyejajarkan langkah kaki mereka saja sangat tidak mungkin bagi Grana. Memanggilnya? Suaranya terlampau kecil untuk melakukan itu. Bahkan bagi Grana, Aelous adalah suatu ketidakmungkinan yang tidak berani ia semogakan.
Satu tetes air matanya terjatuh. Ia sadar, terlampau sadar jika menyukai seseorang akan sesakit ini. Satu tetes air matanya jatuh lagi di kubangan air, riak airnya memburamkan wajahnya. Sunyi. Sepi. Itulah yang tengah Grana rasakan.
"Grana!" Suara teriakan itu seakan menyedot semua udara yang berada di sekitarnya. Meneduhkan terik matahari pagi yang menimpanya, bahkan tenggorokannya tercekat saat mendengar suara itu memanggil namanya. Diulang, memanggil namanya.
Grana mengangkat wajahnya. Tampak Aelous sedang mengayuh sepeda ke arahnya dengan wajah penuh dengan peluh. Grana tidak kuasa untuk menahan segala air matanya saat melihat lelaki itu menghampirinya. Sesaat kemudian sepeda yang Aelous kendarai berhenti dengan sempurna. Dia turun dari sepedanya. Melihat gadis itu menangis, mengundang begitu banyak tanda tanya bergelayut di benaknya. Bahkan hatinya.
Kalian tahu? Berapa juta perasaan yang kini menyelimuti Grana saat melihat Aelous menghampirinya? Sangat banyak. Cobalah untuk menghitung berapa banyak tetes air hujan yang selama ini jatuh meninpa bumi, sebanyak itu.
"Aelous, suaraku terlampau kecil. Diriku terlampau lemah dan terlampau bodoh untuk sekadar memanggil atau mengejarmu."
Aelous terdiam seribu bahasa. Melihat lekat-lekat wajah gadis di hadapannya. Ia tahu, Grana jarang sekali menangis, namun kali ini saat melihat gadis itu menitihkan air matanya membuatnya otaknya menjadi tidak waras. Bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi?
"Maka dari itu aku tidak bisa mengejarmu atau pun berjalan sejajar denganmu. Jadi, selama aku tidak bisa melakukan hal itu ... bisakah kamu yang melakukan hal itu untukku?"
Napas Aelous terdengar berat. Dia tidak percaya. Ini adalah kali pertama ia melihat kelemahan Grana. Ini kali pertama Grana meminta untuk dirinya sendiri. Ia menghirup napas dalam-dalam. "Baiklah, Grana." Aelous mulai berjalan. Menghampiri Grana sambil memapah sepedanya. Setiap langkah kaki Aelous membuat Grana tidak bisa bernapas dengan normal. Punggung Aelous yang selalu berjalan di depannya kini tidak ada. Hanya ada Aelous yang menghampirinya.
"Tanpa kamu minta sekali pun saya selalu melihat ke belakang. Tanpa kamu harus berteriak. Hanya saja saya tahu, saya terlalu lambat untuk menoleh," Aelous menggantung kalimatnya dengan helaan napas, "kalau begitu ..., saya hanya akan menyejajarkan langkah saya denganmu. Apakah itu cukup Grana?"
Aelous berjongkok, membenarkan rantai sepeda Grana yang terlepas. Grana tak berbicara lewat kata, ia mengangguk dalam diam.
"Jika nanti saya menyelesaikan tulisan saya. Apa kamu mau membacanya?" Suara itu terdengar sangat kecil, nyaris seperti bisikan.
"Saya sudah baca cerpenmu," ujar Aelous.
Grana menatap Aelous tidak percaya.
"Itu kali pertama saya membaca sebuah cerita," lanjutnya.
"B-bagaimana menurutmu?"
"Saya sudah bilang, saya tidak suka membaca," jawab Aelous sarkastik. Ya, inilah Aelous yang Grana kenal.
"Kalau saya menyelesaikan novel saya. Kamu harus membacanya."
"Saya tidak akan. Saya tidak akan kuat membaca cerita sepanjang itu."
Grana tersenyum. "Baiklah, kalau begitu saya akan membuat cerita yang amat sangat panjang. Dan pastikan kamu tidak membacanya..."
Dahi Aelous berkerut, tanda ia tidak mengerti dengan apa yang Grana katakan.
"...karena kisah ini tentang kamu."
Aelous menghentikan aktivitasnya. Dia mematung, perlahan mengangkat wajahnya, menatap Grana. "Jadi selama ini benar?"
"Maaf."
"Bodoh."
"Maaf."
"Kalau begitu saya punya perjanjian."
Grana hanya menaikkan sebelah alisnya seraya bertanya.
"Saya sudah berjalan ke arahmu. Sebagai gantinya, jangan pergi dari hidup saya. Deal?"
"Deal."
===
Saya nggak tahu bagaimana cerita ini. Absurd mungkin, saya merasa seperti itu. Maka dari itu, let me know how's this story? Saya akan dengan senang hati memperbaiki.
Love,
ROU.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kamu
Short StorySuaraku terlampau kecil, terlampau tidak mungkin untuk sekadar memanggilmu. Otakku terlampau bodoh untuk sekadar tetap mencintaimu, karena kamu adalah ketidakmungkinan yang tidak berani saya semogakan.