Een - Molenvliet Kanaal (Kanal Molenvliet)

13.1K 1.1K 87
                                    

Teruntuk Kakekku tercinta yang telah tiada. Cukup menyesal belum menyempurnakan wawancara dan selalu menunda-nunda wawancaea lengkap dengan kalimat, "Ah, nanti saja." Meskipun saya selalu dibisiki seseorang seperti, "Jangan ditunda-tunda mulu. Mumpung masih hidup, minta keterangan selengkap-lengkapnya."

Dan kadang saya tidak tega tiap bertanya soal sejarah. Beliau past bilang, "Kan udah ada di Sejarah, masa lupa?" lalu bercerita sedikit sambil berlinangan air mata teringat perjuangannya. Bahkan sebelum meninggal, hanya cerita seputar perjuangannya di medan perang yang beliau ceritakan pada para suster dan dokter. Selain itu, ia juga teringat-ingat masa romansanya dengan Nenek.

Beliau sangat mendambakan sepetak makam pahlawan. Untuk bisa dimakamkan bersama pahlawan, beliau masih menyimpan dokumen-dokumen, piagam, lencana, dan lain-lain yang pernah dihadiahkan presiden. Saat terjadi banjir besar pun yang diselamatkan lebih dulu dokumennya. Katanya kalau hilang satu saja, beliau tidak bisa dimakamkan di tempat impiannya. Yha pada akhirnya kesampaian bisa dikebumikan di taman makam pahlawan, sesuai keinginannya, sebagai balas jasanya. Semoga veteran maupun purnawirawan tentara Indonesia lainnya masih diberi penghargaan layak atas jasa-jasa mereka tanpa prasyarat yang terlalu banyak. Sebab banyak veteran yang tidak terurus itu karena bintang jasa atau piagamnya telah hilang, sehingga pemerintah tidak bisa menjamin kehidupan mereka tanpa barang-barang krusial itu.

Rust in Vrede, Kakek.

Lovita

*****

BATAVIA, 1927

Onze Jantjes dinyanyikan seperti ruh ditiupkan di udara. Dari kejauhan nyanyian itu terdengar liris, merdu, disuarakan oleh para penyanyi yang dipilih dari penyanyi perempuan Totok di atas panggung sebagai pengantar jalannya pertunjukan sandiwara di Bataviasch Schouwburg. Bola mataku terputar ke atas kala kudengar gerutuan Miss Soelastri yang meminta para aktor panggung agar lekas bersiap dan menunjukkan performa yang baik. Aku menyelesaikan riasan terakhir sebelum ditarik wanita tambun itu. Ia berceloteh menggunakan bahasa Jawa bercampur Belanda. Nadanya tinggi, seakan sedang melakukan latihan bersama tentara.

Aku tak begitu mendengarkan perkatannya. Tiada pula memedulikan. Justru buku-buku jariku yang lebih menarik perhatian. Selain karena aku tak suka mendengarkan suara sambernya, juga tidak pernah menyukai aturan. Ikut sandiwara ini saja karena diundang. Dibayar besar! Jangan salahkan aku, berapapun gulden yang diberikan orang-orang padaku, akan kuterima dengan tangan terbuka. Sebab keberadaan uang di tanah mengerikan ini adalah segalanya. Terlebih bila kau hanya seorang rakyat jelata.

"Lekas kau masuk ke panggung, El!" Miss Soelastri membentakku. Ia memukulkan kipasnya pada lenganku. "Mainkan opus 28 sebaik mungkin. Kalau bisa, lebih bagus dari Van de Wall sendiri!"

Ia bercanda? Mana ada ceritanya seseorang—biarpun ia mahir memainkan alat musik—memainkan sebuah lagu melebihi komposer aslinya. Kalau Van de Wall dengar langsung dari mulut wanita ini, entah apa yang akan dilakukannya.

Punggungku didorong kasar Miss Soelastri. Aku menampik tangan besar wanita itu dan memelototkan mata. Seandainya hidupku tidak bergantung pada dunia panggung dan layar perak! Begitu tubuhku teronggok dan disorot lampu, tepuk tangan riuh memadati gedung sandiwara ini. Aku memulai berakting sekaligus bernyanyi diiringi grup musik, menghampiri sebuah piano hitam, mengajak interaksi penonton. Namaku dielu-elukan sebagai bintang besar kesukaan mereka.

"Eleanor!"

"Ik hou van je, Eleanor!"

"I love you, Eleanor!"

Sebelum berbalik badan dan memosisikan diriku di balik piano, aku mengerling menggoda. Sorak-sorai berderai bersamaan meluncurnya namaku, sekali lagi, dari mulut mereka. Pejabat pemerintah Hindia-Belanda yang hadir ikut-ikutan menyerukan namaku. Jemariku menari lincah di atas barisan tuts, memainkan opus 28.

SAMSARA (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang