Setiap aku bekerja, aku selalu melihat pria itu. Hampir setiap hari. Entahlah mungkin Nandos merupakan restoran favoritnya. Dan baru kali ini aku melihatnya bersama orang lain. Biasanya ia selalu datang sendiri. Orang itu berambut keriting dan menggunakan kacamata hitam. Mereka berdua cukup menyita perhatianku seharian itu. Hari ini aku mendapatkan shift sore, dari jam 4 sampai jam 9 malam nanti, dan sekarang baru jam 8.
Hari ini aku juga cukup sibuk, sangat banyak pengunjung yang datang kemari. Itu karena sekarang masih jam makan malam dan hari ini hari sabtu maka tidak heran restoran kami ramai. Kami harus bergerak cepat agar para pelanggan tidak terlalu lama menunggu. Aku baru saja selesai mengantarkan pesanan ketika kepala koki kembali menyuruhku untuk mengantar pesanan ke meja lainnya. Ini cukup melelahkan.
"Ini peasanan anda Tuan, silakan dinikmati. Permisi." Ucapku saat mengantarkan pesanan terakhir yang kubawa.
"Terimakasih. Hey tunggu, bukankah kau gadis yang waktu itu berdiri diam dihadapanku dan terus menatapku?" Ucapnya. Orang itu lagi, gerutuku.
"Namaku Grace, dan yang kau katakan memang benar. Tapikan waktu itu aku sudah minta maaf padamu." Ucapku. Kali ini lebih ketus.
"Hey chill girl, jika memang kau ingin minta maaf pada temanku ini sebaiknya berkatalah dengan sopan." Kata si kriting itu.
"Dengar-" kata-kataku terhenti karena aku tidak tahu siapa nama si kriting itu.
"Harry." Seolah bisa membaca pikiranku, ia menyebutkan namanya.
"Baik. Dengar Harry, aku sudah minta maaf padanya hari itu juga. Kurasa semuanya sudah selesai. Perrmisi." Aku segera pergi menjauh dari meja mereka dan langsung menuju ruang ganti.
Untung shiftku sudah selesai. Aku segera berganti pakaian dan pulang.
**
Aku pulang lewat pintu belakang yang memang biasa digunakan untuk karyawan. Disini sepi, bahkan sangat sepi. Sebenarnya aku tidak pernah mendapat shift sore, jadi tidak pernah melewati jalan ini saat malam hari. Tapi sudahlah, ini kan hanya jalan. Masa iya aku harus menunggu sampai yang lain pulang? Itu lebih tidak masuk akal lagi. Aku melewati jalan ini dengan hati tidak tenang. Ini menyeramkan. Lalu tiba-tiba...
Seseorang membekap mulutku dari belakang. Rasanya aku ingin teriak sekeras mungkin tapi yang keluar hanya teriakan tertahan karena mulutku terbekap. Aku takut sekali, aku tidak kenal siapapun di kota ini selain rekan kerjaku dan temanku di kampus. Sambil terus berteriak aku memohon agar ada seseorang yang mendengar teriakanku dan menolongku.
Aku dibawa semakin jauh dari pintu belakang Nandos. Aku belum putus asa, aku masih terus berteriak walaupun sekarang teriakanku makin mustahil untuk didengar karena tenagaku sudah mulai habis. Lalu aku mencoba berontak agar bisa terlepas dari bekapan orang itu. tapi walaupun bisa terlepas, mereka tetap bisa membekapku kembali. Mereka gerombolan, 3 orang tepatnya. Yang satu membekapku dan yang dua lainnya mengawasi keadaan setempat.
Dengan sekuat tenaga aku mencoba memberontak dan menggigit orang yang membekap mulutku. Tanpa buang-buang waktu aku segera lari dan berteriak, tolong tolong. Semuanya mustahil, mereka kembali bisa menangkapku.
--
"Harry, kau dengar itu?" Ucapku saat kami baru keluar dari Nandos.
"Apa? Aku tidak mendengar apapun. Kau salah dengar mungkin." Santai sekali dia. Jelas-jelas ada yang berteriak minta tolong, gumamku.
"Ikut aku. Cepat." Lalu kutarik paksa tangan Harry dan berlari mencaari sumber suara tersebut.
--
"Niall, kau ini apa-apaan? Kau gila mengajakku kebelakang Nandos? Orang-orang akan berpikir kita akan mencuri." Ucapku panik.
"Ssh diam. Apa kau tadi tidak dengar ada suara orang minta tolong dari arah sini?" Niall berkata dengan penuh oercaya diri.
"Kalaupun ada, untuk apa kita mencampuri urusan mereka?" Tanyaku.
"Kita harus menyelamatkan orang itu." Ish, orang ini. Dia pikir dia sehebat superhero apa, gerutuku.
--
Aku dibawa ke sebuah gudang kosong agak jauh dari Nandos. Disini lebih sepi. Aku sudah tidak tahu apa yang mereka lakukan padaku. Yang jelas tanganku sudah terikat oleh seutas tali rotan, dan mulutku sudah ditutup dengan lakban. Aku menyerah, aku sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Mereka bertiga, dan sangat kuat. Sedangkan aku? Sendiri, dan sangat lemah.
Aku terus memberontak sementara mereka hanya tertawa dengan puasnya. Kini sudah tidak ada lagi yang bisa mendengar teriakanku. Aku hanya bisa menangis. Tempat ini jauh dari keramaian. Tamatlah aku, gumamku dalam hati.
Lalu seketika lampu dalam ruangan ini padam. Semuanya jadi makin runyam. Apa yang akan mereka perbuat terhadapku. Tapi mereka justru bingung dengan apa yang terjadi. Mereka saling melontarkan pertanyaan kepada satu sama lain. Lalu kemudian 'bruk' ada sesuatu jatuh tepat didepan kakiku. Aku makin takut. Ada apa lagi ini. Selang beberapa lama ruangan kembali hening dan hanya terdengar derap langkah kaki berjalan menjauh.
'Klik'. Lampu kembali menyala dan tiga penjahat itu sudah tumbang di lantai dengan wajah yang berlumuran darah. Aku mendongakkan kepalaku dan melihat Harry dan orang itu -aku tidak tahu siapa namanya- sudah berdiri didepanku. Ujung bibir pria blonde itu sedikit berdarah, sedangkan Harry, ia baik-baik saja. Dengan sigap pria blonde itu berjalan mendekatiku sambil sesekali menyentuh lukanya. Aku mundur beberapa langkah. Apa ini semua sungguhan? Atau hanya sandiwara mereka? Tapi apa mungkin sandiwara sampai berlumur darah sungguhan dan kesakitan?
Dia berhenti dihadapanku dan merendahkan badannya. Perlahan ia membuka ikatan di tanganku. Lalu setelah itu ia membuka lakban yang membekap mulutku.
"Aku bisa melepaskan lakbannya sendiri tahu." Ucapku setelah ia melepaskan lakban yang merekat dibibirku.
"Kau ini memang tidak tahu terimakasih atau bagaimana? Sudah untung aku dan Harry mau menolongmu. Jika kami tidak datang untuk menolongmu, mungkin sekarang kau sudah mati." Ucapnya tenang sambil menatapku.
"Hey sudahlah, kalian ini setiap bertemu memang selalu tidak pernah akur ya?" celetuk Harry yang sedari tadi diam memperhatikan kami.
"Ayo kami antar kau pulang." Ajak Niall sambil mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.
"Terimakasih. Aku bisa berdiri sendiri." Aku menepis tangannya dan mencoba berdiri. Tapi ternyata kakiku tidak cukup kuat untuk menopang tubuhku saat ini, mungkin aku juga masih shock.
"Kau ini benar-benar merepotkan." Niall kembali mendekatiku dan kemudian menggendongku.
"Kalian terlihat seperti kekasih. Uu so sweet." Harry menyemburkan kata-kata itu begitu saja sedangkan kami hanya diam.
--
"Kau tinggal dimana?" Harry membuka percakapan setelah kami sama-sama berada di mobil.
"Eh, aku tinggal di apartemen di dekat sini." Ucapku sambil menjelaskan lebih detail lagi.
**
"Terimakasih Harry dan kau..." Kata-kataku terhenti lagi, aku tidak tau siapa nama pria blonde ini.
"Aku Niall." Ucap pria blonde itu.
"Bagaimana aku bisa berterimakasih pada kalian?" Lanjutku.
"Baik, ini menarik. Kau bisa menemuiku di Nandos besok jam 2 siang?" Ucap Niall.
"Sepertinya tidak. Aku besok mendapat shift pagi mulai jam 9 dan akan selesai jam 11. Lalu aku ada kuliah sampai jam 3, baru setelah itu free." Jelasku.
"Oke. Bagaimana jam 4? Aku akan menjemputmu diuniversitas tempat kau kuliah."
"Em, entahlah. Tapi kau bisa menghubungiku apabila kau sudah di Nandos atau di depan kampusku." Ucapku seraya memberinya nomor teleponku. Aku sudah tidak kuat berlama-lama disini, udaranya terlalu dingin.
"Sepertinya aku harus masuk sekarang, udaranya terlalu dingin. Terimakasih, selamat malam." Lanjutku. Aku segera masuk ke gedung apartemenku sambil terus menggosokkan kedua telapak tanganku. Segera ku pencet tombol lift dan masuk kedalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me, That Guy, and The Three Wishes
FanficNew York - London. Bertemu orang baru, menjadi waitress, penari kontemporer, mendapat tiga permohonan, dan kembali merasakan apa yang dinamakan jatuh cinta setelah disakiti oleh orang yang paling dicintai. Hidup ini emang rumit. Tapi kita harus mau...