Aku duduk di salah satu bangku di koridor sekolahku. Kakiku yang pendek menggantung di atas lantai, aku menggerakannya maju mudur. Hanya gerakan iseng, karena sudah bosan menunggu terlalu lama.
Aku merogoh saku kemeja sekolahku, saat merasakan ponselku bergetar. Ada sebuah pesan Line dari Derian, kekasihku.
Derian Adinata: Kamu dmn Rai?
Raina Khairani: depan lap bio nih. Kamu dmn deh?
Raina Khairani: aku keburu kisut nih nungguin kamu :(
Derian Adinata: maaf Rai lupa ngabarin, aku nganterin Gina pulang.
Derian Adinata: pulang sendiri gpp kan?
Aku menghela napas berat. Memasukkan ponselku ke dalam saku kemejaku tanpa membalas pesan dari Derian. Berjalan lunglai keluar gerbang sekolah yang mulai sepi.
Aku berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu angkutan umum yang biasa aku naiki ketika hal seperti ini terjadi.
Ya, Ini bukan yang pertama.
Aku tahu Gina sahabatnya.
Tapi apa harus selalu seperti ini?
Tanganku melambai ke depan saat melihat sebuah mikrolet yang aku tunggu. Mikrolet berhenti, aku memilih duduk di bangku paling pojok, menolehkan kepalaku ke kanan, memandang gerbang sekolahku yang terlihat semakin mengecil dan menjauh dari kaca besar di sebelahku.
Tes.
Aduh, ini memalukan. Aku tidak boleh menangis di depan umum. Di dalam mikrolet bukanlah tempat keren untuk menangis karena sakit hati. Buru-buru aku mengusap mataku yang sudah basah.
***
Terlampau sering, kau buang airmataku
Tak pernah kau tahu, dalamnya rasa cintaku."Jadi lu kemarin balik sendiri?" Nadia sahabatku memulai introgasinya setelah melihat wajah lesuku. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya. "Cinta mati sih lu sama dia. Lemah jadinya." Nadia menyuapkan nasi uduk sarapannya satu sendok penuh ke dalam mulut.
"Lu ga tau sih Nad, gimana dalamnya cinta gue ke dia."
"Elah lu, sumur kali noh dalam." Ucapnya seraya menyikut lenganku. "Ini yang bikin gue ogah pacaran. Gue enggak mau ngerasain ngenes tiap hari kaya elu." Nadia segera menarikku keluar kantin sekolah begitu ia menyelesaikan suapan terakhirnya.
"Tapi serius deh, Rai. Lu masih yakin sama dia? Lu sama Deri tuh kaya lagi maen pacar-pacaran, bukan pacaran beneran."
Entah berapa kali aku menghela napas berat di hari yang masih pagi ini. Nadia berkali-kali benar, ucapannya benar. Derian sudah sering kali menyakitiku, membuatku menangis, menjadikan aku yang kesekian di daftar urusan hidupnya. Jauh di bawah Gina, yang berstatus sahabatnya sejak kecil, merangkap tetangga sebelah rumah, teman curhat, teman belajar, teman sekolah sejak TK hingga sekarang di SMA.
"Rai, bukan mau nakutin. Tapi..." Aku menaikkan alisku menatap heran Nadia yang mendadak berhenti berjalan dan bicara tepat di depan pintu kelas kami. "Lu yakin mereka cuma temen?"
Aku melanjutkan langkahku, menghempaskan bokongku di bangku kayu mejaku dan Nadia. Nadia melakukan hal yang sama di sebelah kiriku. "Iya, mereka cuma temen kok. Sahabat lebih tepatnya. Kata Deri Gina juga punya pacar kok, tapi di luar kota."
"Terus kenapa tiap pulang sekolah harus Deri yang nganter Gina?"
"Karena rumah mereka sebelahan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Cinta Dia
RandomDedicated to @penulismimpi Tugas lama yang terabaikan. Inspired of Song Jika Cinta Dia by Geisha