Prolog

628 13 5
                                    

Padahal ini hari minggu, tapi tetap saja kami diberi jadwal bimbel. Katanya untuk persiapan ulangan semester yang hanya tinggal menghitung hari. Jam sudah menunjuk pukul 08.15 sudah lewat 15 menit dari jadwal bimbel yang seharusnya, ruangan pun baru terisi setengahnya. Masih banyak yang belum hadir.

Sementara itu, aku dan yang lain mengisi waktu kosong ini untuk membicarakan rencana liburan. Yap, liburan semester 3 minggu lagi.

Suara pintu ruangan yang terdorong kedepan -terbuka- menarik atensi siswa yang berkumpul disini. Bukan itu saja, didetik berikutnya seorang laki-laki yang kutaksir 3 atau 4 tahun diatas usia kami masuk kedalam, ia menoleh kearah kami dan tersenyum sekilas. Ia berjalan menuju meja yang berada di pojok ruangan lalu meletakkan buku dan tas yang tadi dibawanya. Kami tidak mengenalnya, karena ia memang baru pertama kali datang kesini. Namun, ada kurasa ada aura kuat dari dalam dirinya yang membuat para siswi terbengong-bengong memandang kearahnya. Bahkan, di detik pertama ia melangkahkan kaki ke dalam ruangan.

"Psst.. itu surga udah pada penuh ya sampe salah satu malaikat-nya dikirim kesini?" ujar Yunita sambil menyenggol lengan kiriku.

"Itu artis nyasar kali ya?", kini gantian Devi yang berucap sambil menyenggol lengan kananku.

Bukan hanya Devi dan Yunita, bahkan aku sendiri juga terpesona pada laki-laki yang sekarang ada depan kami ini. Ia memiliki wajah asia, kulitnya kuning langsat, memiliki alis tebal dan mata yang tajam, rambut hitam legam yang ia sisir sedemikian rupa menjadi daya tarik tersendiri, belum lagi caranya berpakaian. Kaus abu-abu muda dibalut kemeja hitam bermotif kotak-kotak yang keseluruhan kancingnya tidak terpasang, dipadu celana jeans dengan warna senada. Pantas saja Yunita menyebutnya sebagai 'malaikat' karena memang kuakui ketampanan nya diatas rata-rata.

"Gue Viktor, pengajar baru disini. Gue harap kita bisa bekerjasama", ucapnya memulai perkenalan.
Setelahnya, seisi ruangan menjadi riuh. Berbagai pertanyaan dilontarkan untuk kak Viktor. Ternyata ketampanan memang bisa memancing rasa penasaran.

****

"Take 1.. camera rolling, and action" kak Hendri selaku sutradara memberi arahan pada Fredy, Calvin, dan Samuel untuk memulai aksinya di scene pertama. Ini shooting film pertama kami yang rencananya akan diikutkan pada lomba film pendek yang diadakan setiap tahun oleh universitas swasta di kotaku. Aku, Devi, Yunita, dan Aurellyn ber-acting di scene 4 sehingga kami masih punya cukup banyak waktu untuk bersantai.

Halaman rumah Fredy yang cukup luas menjadi tempat persemayaman kami saat ini. Terik matahari yang menyengat menyurutkan semangat kami untuk melihat acting teman-teman kami pada jarak yang dekat. Kami lebih memilih untuk duduk bersandar pada tembok sambil mengobrol, terkadang sibuk dengan gadget masing-masing seperti sekarang.

Merasa bosan, aku mengedarkan pandang kesekeliling untuk mencari objek pengamatan atau apapun yang menarik. Aku mengamati kegiatan anak-anak cowok yang sedang sibuk bermain kejar-kejaran disekitar mobil milik papa-nya Ferdy. Sebagian besar dari mereka adalah kakak kelasku dan yang lain seangkatan denganku, namun melihat kelakuan mereka seperti ini membuatku kesulitan membedakan mereka dengan murid kelas 5 SD.

"Woi, duduk aja. Kagak ikutan main bareng kita?", teriak anak laki-laki yang kukenali bernama Dicky. Salah satu dari anggota teater yang sedang bermain kejar-kejaran.

Atensiku beralih pada lawan bicaranya. Laki-laki itu hanya tersenyum sekilas "lu kira gue bocah ikut main begituan"

"Huu.. kagak seru lu. Sok dewasa. Cih!", cibir Dicky.

Laki-laki itu hanya tertawa lalu meneguk air mineral dibotol yang ada digengaman tangannya. Atensiku belum juga beralih dari laki-laki yang sekarang sedang duduk bersandar disisi lain tembok teras ini. Kulit kecoklatan yang ia miliki seakan menghipnotisku untuk lebih lama menatapnya. Rahang tegas yang ia miliki sesekali bergerak kebawah kala ia membuka mulut untuk meneguk air mineral. Ia memandang kedepan dengan tatapan yang sama sekali tak bisa kuartikan. Ia tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya datar.

Seolah dikendalikan, aku benar-benar tidak mampu mengalihkan pandanganku dari laki-laki itu. Laki-laki yang tak pernah kujumpai sebelumnya. Melihatnya membuatku teringat pada seseorang yang entah siapa. Rasa penasaranku jauh mendominasi sekarang.

Aku terkesiap begitu menyadari ia bergerak, maksudku beranjak dari tempat ia duduk. Sedetik kemudian gelombang suara dari kak Hendri ditangkap oleh daun telingaku dan diterjemahkan otakku sebagai kalimat berikut "Oi, malah asik duduk-duduk dia, sebagai wakil sutradara harusnya lo bantuin gue dong"

"Iya, gue kesana", ujarnya singkat, lalu berjalan menghampiri kak Hendri dengan tenang.

Pandanganku masih tertuju pada laki-laki itu, aku masih bisa melihatnya yang sekarang berada diluar pagar dari sini. Ia direkrut menjadi kameramen, matanya terfokus pada kamera yang ada ditangannya. Mengarahkan kamera kebeberapa arah demi mendapat angle yang bagus. Tiba-tiba saja otakku teringat sesuatu.

"Dev, liat deh. Cowok itu mirip sama kak Viktor ya" ujarku sambil menyikut lengan Devi

Entah apa, hanya merasa mereka berdua mirip.

*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
Sabtu, 16 Januari 2016

Haii,
Ini cerita keduaku yg sengaja ku post di hari yg spesial *nggak nanya* Semoga kalian suka yaa,
Jangan lupa tinggalkan jejak^^

O iya, mampir juga ke ceritaku yg lain: Irreplaceable First Love

Okeh, segitu dulu cuap"nya hehe

Have a nice day, guys

XO,

Rin

At First Sight [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang