Moment 2

126 10 0
                                    

Terdengar ketukan yang keras di depan rumah mereka sampai hampir memecahkan gendang telinga bagi siapapun yang mendengarnya.

mendengar itu, anak bertubuh mungil itu membelalakkan kedua bola matanya dan mulai mengerutkan keningnya. didekapnya erat tubuh kakaknya yang sejak tadi duduk di sampingnya seakan tak mau lepas sambil memejamkan mata. anak itu ketakutan dan tubuhnya bergetar hebat. sang kakak yang merasakan getaran tubuh adiknya, mengelus-elus punggung adiknya. bukannya tak ada rasa takut, ia berpikir bahwa ia harus memasang wajah setenang air danau supaya adiknya pun turut merasakan ketenangan itu.

sembari mengelus punggung adiknya, ia menatap nanar ibunya. rasa takut yang sebenarnya juga membelenggu hatinya yang paling dalam berubah menjadi sebuah keteguhan bak karang lautan di samudera pasifik.

"bukankah kemarin kita sudah memberikan mereka uang sewa rumah ini? kenapa sekarang mereka kembali kemari, ibu?"

sang ibu bergantian menatap anaknya tertuanya.

"bukan. jelas ini bukanlah mereka, nak. tapi orang itu", jelas ibunya dan sang anak membelalakkan matanya seolah tak percaya.

anak itu menatap dan menutupi kedua telinga adiknya. bagaimanapun, adiknya tak boleh tahu mengenai hal ini. sang anak tertua kembali menatap ibunya.

"mau apa mereka kemari? mereka bukannya mau memisahkan kami, kan, bu?!", tanya anak itu lagi berbisik pada ibunya namun suaranya masih terdengar seperti nada berteriak.

ibunya menggeleng. ia juga tak tahu apa yang akan terjadi dan tak tahu harus menjawab apa pertanyaan anaknya. ia menatap arah pintu depan sambil menghela napas dengan berat dan beralih menatap anak tertuanya itu. sang anak hanya membalas dengan tatapan penuh tanda tanya.

"kalian tetap di sini dan jangan pergi keluar ya"

sebuah kalimat yang sangat tidak diinginkan itu berhasil mengusik pendengaran Yuri, si anak termuda.

anak itu berlari meraih punggung sang ibu kemudian memeluknya erat.

"tidak.. jangan pergi. nanti ibu dimakan sama monster. tidak boleh!!"

anak itu mulai menangis. sang ibu menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca dan menghapus air mata sang anak.

"makanya ibu mau keluar sebentar dan mengusir monster itu jauh-jauh supaya mereka tidak kembali lagi ke rumah kita, ya"

"tidak.. tidak boleh pergi! ibu di sini saja duduk sama Yuri dan kakak!", tangisan anak itu mulai menjadi.

anak tertuanya yang melihat kejadian itu, langsung menarik pelukan adiknya dan menaruhnya ke pangkuannya.

"Yuri akan baik-baik saja bersamaku, bu. pergilah.."

"Kei..."

"tidak. aku tidak apa-apa. takkan kubiarkan mereka menyentuh Yuri sedikitpun. ibu tak usah khawatirkan itu"

"Kei...", ibunya menitikkan air mata dan sesenggukan, "maafkan ibu, nak", lanjut sang ibu.

yang dipanggil Kei menggelengkan kepalanya. matanya mulai memerah. ia tahu bahwa tindakannya memang menyakitinya lebih dalam.

"MISAKIIIIII..!! KELUAR KAU! AKU TAHU KAU ADA DI DALAM!!!!", teriak seseorang yang berada di depan pintu itu.

merasa namanya dipanggil, ia semakin tertantang untuk segera maju ke medan perang. ia berdiri dari duduknya namun matanya masih terpaku pada kedua anaknya yang masih duduk di bangkunya dan menatapnya sedih.

"ibu...", lirih Yuri sesenggukkan. air mata dan ingusnya berpadu menjadi satu membentuk sebuah bendungan tipis di bibir kaosnya yang kumal.

sang ibu melihat kedua anaknya bergantian hingga berakhir pada anak tertuanya yang sebenarnya juga memiliki tubuh yang masih muda namun sifatnya yang sangat tegar itu membuatnya tampak seperti orang dewasa.

tangis sang ibu tumpah di pelukan kedua anaknya dan kini mereka bertiga saling berpelukan dan menangis bersama.

"MISAAAKKIIIIIIIIIII....!!!!!!"

teriakan itu semakin kencang dan membuat Misaki berhasil berpaling dari pelukan kedua anaknya dan kini berjalan menuju pintu depan rumahnya.

sang ibu bernamakan Chinen Misaki itu kini tengah berjuang atas dua hal. yang pertama, berjuang menghadapi kenyataan yang akan terjadi apabila ia membuka pintu itu dan yang kedua adalah berjuang untuk tidak menghiraukan tangisan kedua anaknya yang kini berteriak memanggil namanya.

sebelum sang ibu membuka kenob pintunya, Kei, anak tertua itu membekap mulut adiknya dan menautkan tubuhnya pada tubuh mungil adiknya supaya berhenti menangis. sang adik pun akhirnya diam menahan tangisnya meskipun sesenggukan dari mulutnya sesekali terdengar jelas.

begitu kenob pintu dibuka, kini Misaki bisa melihat beberapa wajah yang sudah sangat tak asing baginya. seorang pria berperawakan besar kini tengah berdiri persis di depannya. ia mengenal orang itu. sesungguhnya, ia lebih mengenal pria yang berada tepat di belakang pria itu. seorang pria berwajah tampan namun bermata tajam kini menatapnya dalam penuh amarah. segala keangkuhan dan ketamakan tergaris jelas di wajahnya.

Misaki menghela napas panjang dan kini pandangannya kembali menatap pria yang berdiri di depannya. ia menajamkan pandangannya seakan tak mau kalah dengan mereka yang juga menatapnya tajam.

"jangan bertingkah seperti Debt Collector. aku tak tuli", kata Misaki dengan tajam.

pria itu tertawa.

"wah wah wah... sudah lama tak bertemu, kini ucapanmu semakin tajam ya, Misaki"

Misaki hanya membuang pandangannya ke arah lain yang kini bertaut pada seorang lelaki berwajah tampan itu.

"keluar kalian dari rumahku. jangan pernah usik kebahagiaan yang telah susah payah kubangun"

sekumpulan pria yang berada di depan rumahnya tertawa terbahak-bahak kecuali pria itu. seorang pria yang sangat tak ingin Misaki temui lagi di dunia ini bahkan di neraka sekalipun.

sekarang pria itu melangkahkan kaki beberapa senti dari tempatnya berdiri. ia mengangkat dagunya sedikit sambil terus menatap Misaki penuh amarah.

"di mana anakku?", katanya dingin.

Misaki bergidik. tenggorokannya tercekat sampai ia menelan ludahnya sendiri beberapa kali. ia seolah tahu bahwa hal ini akan segera terjadi. bukan. tepatnya, sekarang akan segera terjadi.

sesuatu yang buruk itu akan segera terjadi dalam kehidupan seorang Misaki.

*T.B.C*

MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang