Ia adalah Alice, dan sekarang ia berlutut di tengah jalan setapak Wonderland.
Rasa sakit di kepalanya sudah berubah menjadi denyut tidak nyaman, kendati ia masih dapat merasakan panas dan rasa ngilu yang menyentak kepalanya. Alice menyesal mengapa ia menjerit beberapa saat yang lalu—ia tak tahu apa yang ada di dalam Wonderland, mengeluarkan suara sekeras itu pasti menarik perhatian siapa saja, dan Alice masih belum jauh dari tempat Mad Hatter, dan siapa yang tahu bila Chesire juga akan kembali karena itu?
Ia harus bergerak, Alice harus cepat bergerak.
Menegakkan tubuhnya, Alice mencoba berdiri dari tempatnya duduk. Tanah di bawahnya terlihat bergetar sesaat, dan ia oleng ke kiri, namun ia tetap bertahan. Ia harus tetap bertahan.
Matahari sudah semakin tinggi, angin yang bertiup semakin panas dan kering, sebentar lagi siang dan Alice belum sarapan. Perut Alice bersuara, memprotes keputusan sang empu yang belum juga memasukkan asupan energi untuk mereka dan Alice menggumamkan umpatan.
Setelah mendapatkan keseimbangan, Alice mulai berjalan. Langkahnya semakin lama semakin normal. Rasa sakit di kepalanya menghilang, tetapi tubuhnya belum berhenti bergetar. Rasa sakit luar biasa yang sempat dialaminya—kemungkinan Alice dapat trauma.
Terlebih ia sendiri bahkan tak tahu mengapa rasa sakit itu mendadak menyerangnya.
Alice tidak melihat kemana ia melangkah, ia terlalu sibuk dengan pikirannya.
Sungguh gadis yang malang, ketika ia sadar, ia telah berdiri di pintu masuk bukaan yang lain. Yang penuh sesak dengan sebuah mansion besar lengkap dengan taman yang indah dan tertata rapi. Bunga lily biru, hortensia ungu, dan semak mawar merah menghiasi hijaunya rumput dan pohon hias yang dibentuk beraneka ragam mengelilingi sebuah air mancur besar, jalan setapak yang terbuat dari batu-batu pipih bermula dari pintu keluar labirin, bercabang ke berbagai tempat di halaman sebelum akhirnya berakhir di pintu depan mansion tersebut.
Alice mendongak, bangunan mansion itu setidaknya tiga lantai, dihiasi dengan tumbuhan sulur yang berbunga merah muda pada bagian atapnya. Setiap jendelanya ganda, dihiasi tirai transparan dan terbuka lebar untuk menyambut sinar mentari. Pintu masuknya ganda pula, terbuat dari kayu yang dicat cokelat tua, samar-samar Alice melihat ukiran pada pintu itu.
Tempat itu sepi, kecuali satu sosok yang tengah menggunting bunga hortensia di halaman, merangkainya menjadi satu rangkaian bunga besar sebelum sosok itu menoleh ke arah Alice.
Sosok itu adalah seorang wanita muda. Paling cantik yang pernah Alice lihat.
Dormouse tidak dihitung karena Alice bahkan tak sempat melihat pakaian Dormouse.
Segala sesuatu dari sosok itu menjeritkan kata bangsawan. Kulitnya putih, tidak pucat, namun terawat, kontras dengan rambutnya yang hitam kelam dan dipotong pendek—setengah dari lehernya yang jenjang—yang juga dihiasi dengan sebuah pita ikat berwarna cokelat muda di salah satu sisi kepalanya. Irisnya sewarna senja, membara dalam warna merah paling elegan.
Wanita muda itu mengenakan kemeja krem panjang dengan renda di kedua ujung lengan, dasinya adalah sebuah pita sewarna kemejanya yang dihiasi dengan batu mulia berwarna cokelat cemerlang di bagian tengah—Amber? Melanit? Andalusit? Obsidian?—Melengkapi penampilannya adalah sebuah blazer cokelat tua dengan kerah hitam dan rok sepanjang lutut dengan warna yang senada, dihiasi dengan garis-garis hitam di bagian bawahnya.
Melihat sosok itu di hadapannya, Alice mendadak memiliki keinginan untuk berlari dan menerjang sosoknya lalu menangis begitu saja setelahnya, seperti seorang anak yang merindukan ibunya, seperti seorang balita yang lama tersesat di dunia dan akhirnya bertemu kembali dengan keluarganya—dengan orang yang membesarkannya. Segala sesuatu tentang wanita muda itu menjeritkan kata familiar, namun Alice terlalu takut menggali ingatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?