Jarak.

450 20 11
                                    

Kedua matamu memandang jauh ke ujung koridor sana, dimana seorang pemuda berambut hitam sedang tertawa dengan temannya. Seperti biasa, walau jarak diantara kalian terpaut jauh, kau selalu dapat mendengar suaranya.

Mata beriris hitamnya yang selalu nyaris tak terlihat ketika ia tertawa, kau selalu menyukainya. Ia tampak begitu menggemaskan.

Namun, kau sadar, kedua mata itu tidak akan pernah terarah padamu lagi.

"(Y/N)-(ah/ya)! Jangan melamun! Kalau kau kerasukan, aku yang repot." Sahabatmu mendengus pelan sembari melambaikan tangan di depan wajahmu.

Kau segera menampilkan cengiran lebar. "Ya, enak saja kau! Kau baru saja mendoakanku, hah?!" tanyamu keras, dengan semangat penuh dan nada bicara seolah-olah kau terseinggung. Alismu naik dan matamu sedikit melototi sahabatmu itu.

Bukannya ketakutan, sahabatmu itu malah tertawa. "Oh, ayolah! Sejak patah hati, kau jadi sensitif, (y-n)?"

Jleb. 'Mengapa si bodoh itu harus mengingatkanku?!' pikirmu.

"Enak saja. Aku memang dari dulu begini," gerutumu sambil mengerucutkan bibir.

"Oh, jadi, maksudmu kau sudah baper sejak dulu?"

"BUKAN BEGITU!!!!" Kau berseru gemas. Kemudian, kau melayangkan beberapa pukulan kecil ke pundak sahabatmu--yang dibalas dengan tawa lepas dan pukulan balik.

Sementara itu, kau tidak tahu dari sana, dari ujung koridor, seorang pemuda sedang menatapmu dari kejauhan. Diam-diam dengan wajah datarnya, sementara teman-temannya sedang tertawa. Ya, pemuda yang kau kira tidak akan pernah melakukan hal ini lagi, Jeon Wonwoo.

"Wonwoo-yaaaaa." Suara berat--yang masih lebih tinggi dari milik orang yang dipanggil--terdengar tepat di telinga Wonwoo. Ia menoleh, mendapi seorang Kim Mingyu sedang tersenyum penuh arti kepadanya.

Salah satu alisnya naik, mempertanyakan apa maksud dari senyuman pemuda di hadapan. "Kenapa?"

"Kau masih memikirkannya. Aku tahu, kok."

Kali ini, dahi Wonwoo yang mengerut. Tentu saja, sesungguhnya ia tahu apa yang Mingyu maksud. "Dia?"

"(Y/n)-ssi! Ayolah, aku melihat kau menatapnya!" Mingyu secara langsung menunjuk punggung gadis bersurai (h/c) di ujung koridor yang lain.

Wonwoo tidak bisa mengelak. Bagaimanapun juga, Mingyu pasti akan terus memojokannya hingga ia berkata 'iya.' "Tidak juga. Aku hanya meliriknya karena ia terlalu berisik."

Tidak juga. Sesungguhnya, karena Wonwoo rindu dengan suara ribut sang gadis--yang dulu setiap pagi menyapanya dengan ceria. Hari-hari ini, semenjak mereka perlahan mulai menjauh, karena kecuekan sang pemuda yang lebih sering mengabaikan (Y/N), jarak mulai terbentuk diantara mereka. Semula bebas mengatakan apa saja, perlahan mulai merasa risih. Jarak itu perlahan menjadi jurang, yang tidak bisa mereka lewati.

Dan mereka hanya bisa menatap dari jauh. Wonwoo menatap (Y/N), (Y/N) menatap Wonwoo.

Kalau boleh jujur, sesungguhnya Wonwoo tidak suka suasana ini.

***

"Kalau kau tidak suka, kenapa tidak kau katakan saja?" Sahabatmu berkomentar, setelah mendengarkan ceritamu panjang lebar.

Kau menghela nafas. Sembari bersandar di sapu yang kau pegang--ya. Kau sedang mengerjakan tugas piket saat ini. Dan sialnya, teman-teman setim-mu kabur. "Kalau ada kesempatan, aku ingin mengatakannya. Kalau ada."

"Kesempatan selalu ada di manapun, kok. Memangnya, bagaimana rasanya ditinggal seseorang yang bahkan bukan kekasihmu?"

"....." Kau diam sebentar. Mungkin sahabatmu sunggug-sungguh harus belajar bagaimana cara berbicara kepadamu tanpa menyinggung peradaanmu. "Seperti ada lubang--entahlah." Kau menyapu sekali, "mungkin hanya aku yang merasa demikian."

Distance.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang