Part 15; I'm Sorry

176 16 0
                                    


Aku dan Ray menunggu Hans di mc donald. Batang hidungnya belum nampak sampai sekarang. Ray terlihat tenang sambil memainkan iPhone nya. "Kay!" Sapa seseorang dari belakangku. Aku pun menengok ke arah belakang.

"Hey." Sapaku.

Ray menyambutnya dengan senyum manis dan menjabat tangannya. "Halo, om. Saya Ray West, teman Kayla." Hans hanya tersenyum.

"Ada apa?" Tanyaku ketus.

"Kay." Ray menegurku.

Papa akhirnya duduk disebelah Ray, dimana itu berarti ia duduk dihadapanku. "Mama kamu lagi diluar kota ya?" Aku mengangguk.

"Om mau makan apa? Saya mau pesan makan."

"Apa aja, terserah kamu." Jawabnya. Ray mengangguk dan pergi meninggalkan ku. "Ray anak yang baik ya, Kay? Dia ramah sekali."

Aku mengangguk. "Kalau bukan karena dia, aku nggak mungkin duduk manis disini." Ucapku.

Kami diam beberapa menit. Aku lebih memilih memperhatikan ponselku dari pada menatap matanya. "Kay. Kamu mau nggak dengar penjelasan papa?" Aku diam lalu melihatnya. "Papa harap itu adalah jawaban dari 'iya'. Kay, papa--" Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya Ray datang membawa nampan penuh makanan. "Terimakasih, Ray."

Ray mengangguk dan tersenyum. "Kay, gue ke kamar kecil sebentar ya?" Aku mengangguk. Aku yakin ia tak ada niat ke kamar kecil melainkan menungguku di parkiran. Dia memberi waktu untukku dan Hans.

"Papa nggak tau harus mulai dari mana. Sewaktu papa menikah dengan mama, dia sangat anggun, sama seperti kamu. Kamu mempunyai mata mama, Kay. Papa jatuh cinta sama mama kamu, dia adalah sahabat papa dari papa SMA. Setelah lulus akhirnya kita berdua pacaran. Tetapi orang tua mama kamu nggak setuju mama menikah dengan papa. Kami pun memutuskan untuk pacaran diam-diam.

Kami berpacaran tanpa sepengetahuan orang tua sampai mama  menyelesaikan jenjang sarjananya di pendidikan kesehatan. Akhirnya kami berani jujur, tapi mereka tetap menolak. Karena menurut mereka, papa bukan dari kalangan orang berada. Perusahaan papa dulu masih dalam masa jayanya. Jadi papa memberanikan diri untuk mengajak mama ] kabur.

Kami pun menikah, tanpa izin dari kedua orang tua mama. Tanpa kehadiran mereka. Mama mu menangis saat itu. Papa berusaha menenangkannya. Membuatnya percaya kalau semua akan baik-baik saja." Jelasnya. Aku masih mendengarkannya dengan seksama.

"Lalu kamu lahir. Papa dan mama sangat bahagia. Kamu lahir dengan sempurna tanpa cacat sama sekali. Nggak lama setelah kamu lahir, perusahaan papa bangkrut. Semua orang di PHK. Papa nggak tau harus mencari kerja kemana lagi. Papa putus asa. Semua uang yang papa punya papa berikan ke mama kamu. Lalu mama kamu memutuskan untuk berpisah. Papa menolaknya tapi mama kamu tetap ingin berpisah, karena ia mau kembali ke orang tuanya. Akhirnya papa turuti kemauan mama kamu. Dengan perjanjian papa diperbolehkan melihat mu setiap saat. 

Orang tua mama kamu nggak pernah memberi papa izin untuk bertemu kamu. Akhirnya papa menyerah. Selama bertahun-tahun, akhirnya papa menikah lagi dengan seorang janda. Begitu tau kabar kamu dari mama kamu, papa langsung datang ke rumah. Tapi..." Dia menggantungkan kalimatnya.

"Kamu mencapakkan papa. Kamu melihat papa jijik." Aku tak dapat menahan air mataku. Aku merasa sangat bersalah padanya.

"Mama nggak pernah cerita ini sama aku." Ucapku.

"Papa yang nggak pernah memperbolehkan mama kamu. Karena papa mau kamu dengar sendiri dari mulut papa. Nggak ada cerita yang papa lebih-lebihkan, Kay. Papa berekspektasi kamu anak yang hormat kepada orang tua. Tapi ternyata kamu terlalu membenci papa, nak. 

Papa tau, seharusnya papa berusaha lebih keras untuk meyakinkan orang tua mama kamu kalau papa ini bisa membangun keluarga. Tapi papa terlalu cepat menyerah dan membiarkan mama kamu pergi. Maafin papa. Maaf,  karena papa pergi meninggalkan tanggung jawab seperti yang kamu pikirkan. Seharusnya kamu mendapatkan peran seorang ayah selama hidup kamu. Bahkan papa ini tak pantas disebut 'papa'. Papa mengerti kalau kamu begitu membenci papa." Mengalir air mata dari sudut matanya.

Aku menggeleng. "Nggak. Itu salah aku. Seharusnya aku mau mendengar semua penjelasan ini dari..." Aku menahan kata itu ditenggorokan. "Dari papa." Untuk pertama kalinya aku memanggilnya papa. "Ini salah aku. Seharusnya aku nggak sekasar itu. Maafin aku, pa." Aku menangis. Aku menghampirinya dan memeluknya dengan erat. Tak peduli berapa banyak yang melihat kami.

Setelah tenang aku akhirnya keluar dan mencari Ray. Ternyata ia sedang bersandar di mobilnya dan menghisap sepuntung rokok. "Ray?" Begitu melihatku dia membuang rokoknya dan menginjaknya hingga mati.

Aku mendekatinya dan memeluknya sangat erat. "Belum ada 30 menit dan lo udah kangen gue? Luar biasa!" Ucapnya.

"Terimakasih, Ray." Ucapku.

"Untuk?"

"Kalau lo nggak ceramahin gue kayak ustad tadi, mungkin sampai sekarang gue nggak akan tau kebenarannya." 

Ray tertawa dan mengacak-acak rambutku. Aku pun menepis tangannya. "Itu bukan karena gue, itu karena dorongan dari diri lo sendiri, Kay." Aku kira dia akan bilang Iya lah, gue tau gue benar. Atau hal apapun tentang membanggakan dirinya.

Tiba-tiba semua orang didalam teriak. Aku dan Ray saling tukar padang lalu kami sama-sama berjalan masuk ke dalam. Ray menarik tanganku dari banyak orang yang menutupi jalan kami.

Akhirnya kami berhasil. Dan ternyata papa sudah tergeletak tak bergerak dilantai. "Papa!" Teriakku. Beberapa orang menggotongnya. Aku pun mengikuti mereka. Papa dibawa ke mobil Ray. Aku memangku kepalanya dan berharap dia bangun dan melihat bahwa aku sedang memangkunya. Aku hanya menangis dan menangis.

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang