Di antara semua barang bukti yang hendak kutemukan, justru keberadaan cewek itu yang menarik perhatianku. Memang, tugasku sebagai seorang jaksa penuntut umum adalah menemukan semua barang bukti dari tempat kejadian perkara, bekerjasama dengan pihak berwajib untuk menangkap para tersangka dari barang bukti tersebut dan menuntut mereka sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, setelah mengobrak-abrik rumah ini, di mana semua barang tidak dalam posisi yang semestinya dan banyak darah berceceran, aku justru menemukan cewek itu. Bersembunyi di balik lemari. Itu pun aku tidak sengaja mendengar isak tangis yang lolos dari mulutnya.
Aku menatap cewek itu, memastikan dia tidak terluka. Rambut ikal panjangnya berantakan. Beberapa helai nya menutupi sebagian wajah. Kedua matanya sembap dan memerah. Wajahnya juga pucat. Entah berapa lama dia bersembunyi di sini. Kurasa, dia adalah saksi mata dari pembunuhan sadis yang terjadi setengah jam lalu.
"Kamu baik-baik aja?" tanyaku lembut. Kuulurkan tangan, bermaksud untuk mengajaknya keluar dari dalam lemari itu, tapi cewek itu justru semakin menyudutkan diri. Matanya menatap nyalang kedua mataku dan dari situ aku tahu bahwa dia sangat ketakutan. "Tenang. Namaku Aufar. Aku bukan orang jahat. Aku seorang jaksa penuntut umum. Aku akan menemukan pelaku pembunuhan sadis ini dan memasukkannya ke dalam penjara. Kamu sedang berkunjung di rumah ini saat kejadian berlangsung?"
Cewek itu masih diam dan gemetar ketakutan. Aku menarik napas panjang dan tersenyum menenangkan ke arahnya. Ke arah manik abu-abu miliknya. Apakah cewek ini orang luar negeri atau hanya memakai lensa kontak?
Saat itulah, bahuku ditepuk pelan. Aku menoleh dan bertemu mata dengan Merano, teman dekatku yang berprofesi sebagai tim penyidik. Merano nampak terkejut saat melihat wajah cewek itu.
Ada apa?
"Dia nggak mau ngomong apa pun sama gue, Ran," kataku sambil berdiri. Tatapanku masih bertahan pada cewek itu. Sekarang, sambil terisak, dia menundukkan kepala dan semakin memeluk kedua lututnya. "Mungkin dia nggak sengaja berkunjung ke rumah ini. Mungkin salah satu korban pembunuhan sadis itu adalah temannya. Kalau nggak salah, ada seorang korban remaja seumuran dia atau mungkin lebih tua sedikit, kan?" Aku berpikir sejenak, mencoba mengingat informasi yang kudengar di awal.
"Bukan." Merano menggeleng dan menarik napas panjang. Dia meremas pundakku, membuatku menoleh ke arahnya. "Dia... orang yang berhasil lolos dari pembunuhan sadis ini. Keluarga ini memiliki dua anak. Laki-laki dan perempian. Dia, anak bungsu di keluarga ini. Sylvana Handoko."
Aku menaikkan satu alis dan kembali menatap cewek bernama Sylvana Handoko itu.
Lalu, mendadak ponselnya berbunyi. Bukannya menjawab, ponsel yang berada di dekat kakinya itu justru dia tendang. Kemudian, cewek itu menggeleng dan menutup kedua telinganya. Lantas, dia langsung berdiri, berlari ke arahku dan... memelukku dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bring Me To Life
RomanceTadinya, kami tidak saling mengenal. Lalu, peristiwa sadis itu membawanya kepadaku. Menjadi seseorang yang harus kulindungi dan kujaga mati-matian. Kemudian, dia justru menjadi bagian penting di hatiku. -Aufar-