Ia adalah Alice, dan sekarang ia masih duduk di hadapan The Duchess.
Nama itu menggema di kepalanya, berputar, membahana, menabrak satu dan setiap dinding kesadarannya. Kehidupan—tunggu, apakah itu nama? Bukankah itu hanya sebuah kalimat?
Kepalanya pusing, Alice menunggu rasa sakit yang menusuk itu kembali hadir, tetapi tak ada yang terjadi. The Duchess menatap Alice lurus, sepasang iris sewarna darah menatap Alice tegas—ganti berkata dari bibirnya: bahwa jawaban yang tadi adalah sesuatu yang sudah mutlak, sudah absolut, dan Alice tak boleh bertanya lebih jauh lagi tentang jawaban tersebut.
The Duchess mendadak berdiri, dan Alice tidak dapat menahan diri untuk menutup matanya.
Namun rasa sakit—yang sempat Alice perkirakan, karena maaf saja, tetapi The Duchess barusan terlihat seperti hendak menampar Alice dengan nampan buah dan nanas—tidak pernah datang, dan Alice membuka matanya untuk mengintip apa yang The Duchess lakukan.
Wanita muda itu menghilang dari pandangan, sebelum kembali dari lorong yang melintang lebih dalam ke mansion miliknya. Kedua tangannya penuh akan kain. The Duchess kemudian menjatuhkan kain itu di kursi kosong di sebelah Alice, suaranya tegas ketika ia berkata.
"Alice, tujuanmu ke Wonderland adalah menyelamatkan Jabberwocky."
The Duchess bahkan tidak berhenti untuk mengonfirmasi, seolah ia memang tahu. Seakan ia yang memberikan tugas Alice. Seolah tangannya sendiri yang menulis perintah untuk Alice.
"Bagaimana kau tahu?"
Ah, namun tentu saja, Alice selalu ingin tahu.
Bukankah hal itu yang mengantar Alice ke Wonderland?
The Duchess menggigit bibirnya, "Tidak penting. Dengar baik-baik, jauhi Red Queen, White Queen, dan semua antek-antek mereka, itu yang pertama. Lalu, jauhi atau larilah dari seseorang berpita biru—laki-laki, perempuan, tidak penting, tetapi larilah terutama dari laki-laki dengan pita biru, itu yang kedua. Jika kau bertemu dengan Chesire Cat, jangan biarkan ia mempengaruhimu, itu yang ketiga," selagi berbicara, The Duchess melebarkan kain yang ia bawa, memperlihatkan fakta bahwa kain yang ia bawa adalah sebuah jubah berwarna hijau.
The Duchess memakaikan jubah tersebut kepada Alice, tangannya dengan cepat mengikat tali yang ada di bagian depan menjadi pita, kemudian bergerak mengisi kain lain yang ternyata adalah sebuah tas selempang dengan berbagai macam makanan yang tersedia di meja makanan. Pembicaraannya terpotong sejenak, dan Alice memilih untuk tidak berkomentar.
"Berikutnya, Hatter jarang keluar dari tempatnya, tetapi aku mendengar jeritanmu, dan aku yakin Hatter juga, orang itu pasti sudah lama merayap keluar dari kursinya dan sedang memburu Chesire sekarang, aku tidak berkata sebaiknya kau menjauhi Hatter, tetapi jika kau bisa, hindari dia dan Dormouse, itu yang keempat—" The Duchess mendadak membeku.
Alice membatu. Keduanya saling pandang ketika mendengar ketukan di pintu.
Sepasang iris sewarna senja melirik ke arah pintu, bayang-bayang seseorang terlihat dari bawah daun pintu, bergerak-gerak gelisah. The Duchess mengumpat dan mempercepat gerakan tangannya, menjejalkan apa saja yang bisa ia masukkan ke dalam tas dan menyorongkan tas tersebut ke Alice, memakaikannya dalam satu gerakan kilat yang singkat.
"Sebentar!" The Duchess berseru dan menarik Alice menuju lorong.
The Duchess menendang sepatu hak tingginya dan menarik Alice berlari menelusuri lorong. Melintasi ruangan demi ruangan yang dibatasi dengan pintu ganda, dalam napasnya yang memburu, mata The Duchess hanya terpancang pada pintu di ujung lorong. Pikirannya hanya dipenuhi konsentrasi untuk mengeluarkan Alice dari mansion miliknya sekarang ini juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?