Leave

73 1 0
                                    

Aku berdiri di sini. Melihat dia yang tengah menutupi wajah berpeluhnya dari sinar matahari yang terlalu terik siang ini dengan punggung tangan kirinya. Kulihat dia terkadang berlari-lari kecil dengan wajah sebal. Aku tahu, panas yang terlalu terik memang menyebalkan. Membuat badan menjadi lengket oleh keringat. Ia kini telah berdiri tepat di tangga paling bawah gedung Fakultas Ekonomi seraya mengembuskan napas lega. Mungkin ia lega karena kini ia sudah berada di dalam gedung dan merasa sejuk karena telah terhindar dari terik siang ini. Ia lantas menaiki tiga undakan tangga yang tersisa, menemui seorang gadis berkacamata yang sedari tadi memperhatikannya untuk melaksanakan janji temu mereka. Ya, gadis itu adalah aku dan kini pria itu tengah berdiri di hadapanku.

Tanpa kata, kami langsung menuju food court Fakultas di lantai satu. Setelah menemukan meja kosong, aku segera mendaratkan tubuhku di kursi dan ia langsung mengambil tempat dihadapanku. Kulihat kini ia meletakan dua gelas milkshake vanila di meja kami. Mungkin ia sudah memesan ketika aku masih sibuk mencari bangku kosong. Ya, ia sudah hapal dengan aktifitas tiap siang yang kami lakukan ini. Ia sudah hapal betul dengan minuman kesukaan kami--lebih tepatnya, kesukaanku--. Segera kuambil milkshake vanila di hadapanku dan menyeruputnya melalui sedotan bengkok berwarna putih. Rasa dingin langsung menjalar di kerongkonganku. Perasaan segar meluap seketika, sedikit menghilangkan rasa jengkel di hatiku. Ya, sedikit. Hanya sedikit.

"Seriously, El. Apa harus terus begini? Apa kamu akan terus mendiamkan aku kayak gini? Kita bahkan udah tiga hari nggak saling bicara." Kulirik ia sekilas yang tengah memandangku frustasi. Kuseruput lagi milkshake vanilaku lantas meletakkannya kembali dengan anggun di atas meja. Aku kini menyilangkan kedua tanganku dan memandangnya datar. Kulihat ia mengembuskan napas berat.

"El, ini sulit. Ini semua nggak sesederhana yang kamu pikirin." Ia mengacak rambutnya frustasi.

Aku yang semakin kesal akhirnya membukan suara seraya memandangnya tajam. "Apanya yang susah sih, Al? Bukannya ini sudah sering terjadi? Dan kamu udah sering ngelakuin itu!" Aku berteriak padanya.

Aku sempat kaget ketika kulihat ia memandangku tajam. Baru pertama kali ia memandangku seperti itu ketika aku memintanya untuk melakukan sesuatu. Aku sudah sering memintanya untuk melakuka hal ini dan ia hanya akan mengembuskan napas pelan dan kemudian melakukan apa yang aku inginkan.

"El, kamu nggak bisa kayak gini terus-terusan. Kamu tahu? Aku mulai merasa kalau kamu terlalu egois."

Aku berang mendengarkan pernyataannya. "Egois dari mana sih, Al? Aku meminta itu karena aku sayang sama kamu. Karena aku mau yang terbaik buat kamu. Because I know, They don't deserve you!" Kataku berapi-api dengan pandangan marah padanya.

"Sorry El, tapi kali ini aku nggak bisa."

Aku tertawa hambar. Aku tahu saat ini aku sudah mulai menangis meskipun tak sesenggukan. Sudah kurasakan pipiku yang mulai basah. Aku memandangnya kecewa. "So, you choose to leave me?"

"Sorry El. But I should." Ia memandangku dengan tatapan sedihnya. Aku tahu dia juga sama sedihnya denganku. Aku tahu aku juga orang yang berharga dalam hidupnya sebagaimana berharganya dia di hidupku, meskipun dengan cara yang berbeda.

Kudengar ia mengembuskan napas berat. "Dengar Eliana, jika kamu sudah mengenal baik Tere, kamu akan tahu kalau dia layak buat aku. Aku nggak pernah ngerasain perasaan sedalam ini sebelumnya. I think, I am deeply in love with her. Bahkan mungkin rasanya aku nggak bisa hidup tanpa dia."

Aku memandangnya kecewa. Aku bisa melihat sedalam apa rasa cintanya pada kekasihnya itu. "So, it means you can life without me."

"Listen, El. Sebenarnya kenapa kamu minta aku putus dari Tere?" Ia kini menggenggam tanganku, namun segera kutepis genggaman tangannya.

"Like what I said before. Dia sama kayak mantan-mantan kamu yang lain. She doesn't deserve you." Aku memandangnya tajam.

"Aku mau mutusin mantan-mantan aku sebelumnya sesuai permintaan kamu karena memang aku setuju, mungkin mereka gak seberharga itu untuk aku pertahankan. Tapi El, Tere beda. Dia udah kayak rumah buat aku, tempat aku untuk pulang. Kalau kamu memang maksa aku untuk mutusin dia dengan ancaman kamu gak mau sahabatan sama aku lagi...." kulihat ia mengembuskan napas berat dan memandangku sendu "aku nggak bisa, El. Dia terlalu berharga buat aku lepaskan. Aku lebih memilih dia."

"Dari pada persahabatan kita?" aku berbicara dengan nada meremehkan padanya. "Jadi, dia lebih berharga dari persahabatan kita yang sudah berjalan berpuluh tahun dari kita SD dulu." aku mengangguk-anggukkan kepalaku dengan suara datar.

"Kamu yang memaksa aku untuk memilih, El. El, listen. Kalau kamu takut aku mengabaikan kamu setelah aku pacaran serius sama seseorang, itu nggak akan terjadi. Kamu tetap menjadi salah satu prioritas aku. Aku akan selalu ada tiap kamu butuhin. Aku akan selalu ada buat kamu."

"No, you don't need to do that anymore. Mulai sekarang, kalau aku kesulitan, kalau aku butuh sandaran, aku akan mencari tempat lain untuk pulang, mencari bahu lain untuk bersandar. Karena mulai hari ini, sejak kamu lebih milih dia, kamu bukan siapa-siapa lagi dalam hidup aku." aku lantas berdiri dan meninggalkannya seraya menghapus air mata yang tak mau berhenti. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara lirihnya.

"Sorry El, but I love her too much".

Dan hari ini, aku kehilangan sahabat sekaligus orang yang aku cintai. Alvaroku. Cinta pertamaku. Satu-satunya cinta dalam hidupku hingga saat ini. Namun aku tak pernah menyesal dengan keputusanku untuk memintanya pergi dari hidupku. Karena aku tahu, jika ia masih ada di sekitarku, aku tak akan pernah bisa menghapusnya dan mencari cinta yang baru. Karena satu-satunya hal yang aku inginkan adalah bahagia. Meskipun harus tanpa dia.

LEAVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang