Dantra Vanila

13.8K 1.4K 193
                                    

Sambil dengerin lagu Geisha sementara sendiri yaaa

Dari dulu hingga saat ini umurku 25 tahun, aku hanyalah perempuan yang tak berani mengungkap rasa. Aku bukan perempuan pendiam atau sulit bergaul. Aku punya banyak teman tak hanya perempuan tapi juga lelaki. Tapi aku bukan perempuan masa kini yang bisa dengan mudah mengungkapkan perasaan. Entah lewat kode atau pun bicara blak-blakan.

Kadang aku merasa iri pada teman-temanku yang mudah mengungkap rasa hingga mereka menemukan pasangannya. Aku terlalu pengecut, aku nggak siap dijauhi, aku malu saat orang yang aku suka mengetahui perasaanku. Jadilah aku masih sendiri sampai saat ini. Menunggu sahabatku di cafe dekat kantor untuk mengirim undangan. Sedangkan aku pasangan saja belum ada.

Flashback

"Mau sampai kapan ngelihatin mas Dantra kaya penguntit?"

"Ya Tuhan, Ira. Ngagetin aja."

Jantungku hampir copot saat Ira teman sebangkuku menepuk pundakku saat aku mengintip lelaki pujaanku dari balik jendela kelas.

"Samperin, ajak kenalan. Nggak pengen tuh meningkat dari ngelihat jadi ngobrol?"

Aku menggeleng cepat, cukup memandangnya dari jauh aja hati udah seneng. Malu kalau sampai dia tahu aku punya perasaan. Mau kutaruh mana mukaku.

"Bodoh, terus saja jadi penguntit."

"Kalau jodoh pasti bertemu kok, aku percaya takdir."

" Iya bertemu tapi nggak bersatu. Jodoh hanya akan bertemu tanpa bersatu kalau kamu nggak berusaha."

Aku dan Ira memang sangat berbeda. Aku si pemercaya bahwa jodoh tak akan ke mana sesuai takdir, sedangkan sahabatku Ira si pemercaya bahwa jodoh tak akan bersatu jika takdir tak diusahakan.

Flashback end

Kusesap greentea latte yang menemaniku menikmati rintik hujan yang mengingatkanku pada masa di mana aku beranjak dewasa. Di mana aku mulai memiliki perasaan untuk lawan jenis dan kupasrahkan rasa itu pada takdir tanpa usaha yang berarti. Lalu berlalu seiring kakak kelas yang kukagumi lulus dan meninggalkan sekolah dan aku yang mulai tahu rasanya merindu.

Sampai saat ini aku masih belum bisa melupakan sosok itu. Aku membahas dia lagi saat ini dan mengingatnya lagi karena aku melihat sosok mirip dengannya saat aku memasuki cafe ini. Sosok yang tengah berbincang asyik dengan perempuan cantik. Tapi kurasa bukan dia, karena lelaki yang kulihat tadi sempat tersenyum tipis saat mata kami beradu.

Mas Dantra nggak akan senyum apalagi senyum padaku. Kami bahkan tak saling mengenal. Berpapasan saat aku masuk kelas atau saat dia mau ke kelasnya, kami saja hanya saling diam. Ya, kelas kami dulu bersebelahan, aku X.5 dan kelasnya XII S1.

Sesekali aku melirik meja yang diduduki lelaki yang mirip mas Dantra. Dia dan teman perempuannya masih terlihat asyik bertukar cerita. Berbeda sekali dengan Mas Dantra yang aku tahu dulu. Dia cenderung pendiam dan jarang terlihat berinteraksi dengan teman perempuan. Dia bukan tipe lelaki yang digandrungi banyak perempuan saat itu. Dia hanya lelaki berwajah kalem yang aku kagumi.

Hujan di luar sana masih cukup deras, terlalu melankolis hingga ingatanku tentang masa lalu terus melambai-lambai menyapaku.

Flashback

Ini kesempatan terakhirku melihatnya karena esok murid kelas XII nggak akan lagi datang. Mereka akan jadi mahasiswa dan aku akan jadi murid kelas XI yang nggak bia lagi melihat orang yang kusuka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 09, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jauh di mata Dekat di hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang