Part 3

30 2 0
                                    

Ini buruk. Sudah dari lima belas menit yang lalu aku tidak berhenti bersin. Bahkan untunk bernafaspun rasanya sulit, hidungku tersumbat. Aku memutuskan untuk istirahat. Ku matikan lampu tidurku dan tidur dibalik selimut yang hangat. 

Drt drt.. 

Astaga, apalagi itu. Kuraih handphone ku yang kuletakkan tidak jauh dari tempat tidur. Sms? Nomor tidak dikenal? Lalu aku membukanya. 

Hi, ini aku Niall. Aku sepertinya bisa ke Nandos pukul 10. So, see you. Maaf mengganggu tidurmu xx 

Manusia ini benar-benar... Aku tidak membalas pesannya dan kembali melanjutkan tidur. 

-- 

Pukul berapa ini? Aku terbangun, rasanya aku baru tidur beberapa menit yang lalu. Diluar masih terlihat gelap. Lalu kuraih handphoneku, astaga ini masih jam 2. Kenapa aku terbangun, tumben sekali. Aku mencoba bangkit dari tempat tidur. Rasanya kepalaku berat sekali, pandanganku buyar. Dengan langkah gontai aku menuju kotak obat dan mengambil thermometer, ku masukkan kedalam mulutku dan menunggunya beberapa menit. 

Setelah melihat hasilnya ternyata aku demam. Aku memang sudah merasa tidak enak badan sejak pulang tadi. Aku mengambil beberapa es batu dan membungkusnya kedalam handuk kecil. Kutempelkan handuk tersebut ke dahiku dan melanjutkan tidur dengan keadaan yang sangat sangat tidak baik.

**

Aku terbangun ketika alrm handphoneku berbunyi. Ini sudah jam 7, pikirku. Kumatikan alarm tersebut dan bangun dari tempat tidur. Ah kepalaku rasanya masih pusing. Lebih baik hari ini aku istirahat saja di apartemen. Lalu aku segera menelepon manager restoran sebelum aku kena marah. 

Syukurlah akhirnya ia mengijinkanku untuk ambil cuti satu hari ini. Aku kembali menjatuhkan tubuhku ke kasur. Tidak bekerja, tidak kuliah, hanya diam di apartemen, gumamku lalu kembali memejamkan mataku. 

-- 

Aku kembali terbangun saat matahari sudah benar-benar diatas kepala. Aku meraih handphoneku lalu kulihat ada 30 pesan dan 56 misscall. Dan semuanya dari Niall. Tunggu, apa, Niall? Astaga, aku menepuk dahiku. Aku lupa. Aku kan sudah ada janji dengannya di Nandos, seharusnya pukul 10. Tapi sekarang sudah pukul 12. Argh sial semuanya kacau begini. Niall pasti akan sangat marah padaku. Aku segera menghubunginya, menanggung semua resiko yang akan kuterima. Termasuk dimarahi habis-habisan olehnya. Tuut.. tuuut.. klek. 

"Niall aku benar benar minta maaf aku tidak bisa menemuimu di Nandos pukul 10 tadi. Aku benar benar minta maaf. Aku lupa memberitahumu kalau hari ini aku tidak masuk kerja. Aku minta maaf." Ucapku panjang lebar sebelum Niall memarahiku. 

"Kau tahu sekarang pukul berapa?" Tanyanya. Nada bicaranya sangat tenang, seolah semuanya baik-baik saja. 

"Pukul 12. Maafkan aku. Aku sakit. Terserah kau mau memarahiku seperti apapun itu aku akan mendengarkannya." Ucapku, kini nada bicaraku mulai terdengar gemetar. 

-- 

Sakit? Grace sakit? Ah ini pasti gara-gara semalam. Aku merasa bersalah. 

"Aku ke apartemenmu sekarang." Ucapku. 

"Baiklah terserah kau saja." Ucapnya dengan suara yang makin kecil. Aku yakin dia takut ku marahi sekarang. Haha 

-- 

Klek. Sambungan terputus. Astaga yang benar saja. Niall akan kemari? Itu gila. Aku segera mandi dan merapikan tempat tidurku yang sudah seperti kapal pecah. Setelah itu aku kembali mengambil thermometer dan mengecek suhu tubuhku. Syukurlah sudah lebih baik dari kemarin. 

Ting tong... Secepat itu dia sampai? Ini benar-benar sudah gila. Aku membukakan pintu dan benar, Niall sudah berdiri disana. Mengenakan polo shirt merah, celana jeans, dan sepatu kets. Tidak ada pembicaraan diantara kami selama beberapa detik. Lalu aku tersadar. 

"Eh. Silakan masuk." Ucapku. 

"Terimakasih." Balasnya singkat dan langsung duduk di sofa. Tatapannya mengerikan, aku tidak tau tatapan apa itu. 

"Kau mau minum apa?" Ucapku terbata-bata. 

"Tidak usah. Kemarilah Grace." Setelah dia mengatakan hal itu aku segera duduk disampingnya, aku terasa seperti sedang dihipnotis. Tanpa kusadari tangannya sudah mendarat di dahiku. Lalu ia menatapku, cukup lama. 

"Kau ini kenapa?" Tanyaku heran. 

"Kau memang sakit sungguhan. Ku kira kau bohong." Balasnya singkat. 

"Aku memang sakit sungguhan, bodoh. Mana mungkin aku berbohong." 

"Kau ini, sedang sakit saja masih bisa berkata seperti itu." 

"Baiklah. Jadi apa yang membawamu kemari?" kataku menyudahi pertengkaran kami. 

"Aku hanya akan menagih janjimu. Dan aku juga ingin meminta maaf." Ucapnya. 

"Ah soal itu. Baik, jadi bagaimana jika aku memberimu 3 permintaan sebagai tanda terimakasihku? Tapi ingat jangan minta yang aneh aneh dan tidak masuk akal. Aku ini hanya manusia. Deal?" Ucapku tanpa basa basi. 

"Baik, deal. Dan sebagai permintaan maafku, aku-"  

"Permintaan maaf untuk apa?" Ucapku memotong perkataanya. 

"Karena aku sudah tidak mempercayaimu jika kau memang sakit sungguhan, dan untuk kejadian tadi malam, seharusnya aku datang lebih awal lagi. Aku benar-benar merasa bersalah padamu." Ucapnya menjelaskan. Dia meminta maaf? Orang menyebalkan seperti dia bisa meminta maaf? Ini mengejutkan, gumamku dalam hati. 

"Bagaimana? Sudah jelas?" Tanyanya. 

"Iya sudah. Lalu?" Aku balik bertanya. 

"Bagaimana jika aku juga memberimu 3 permintaan? Tapi ingat jangan minta yang aneh aneh dan tidak masuk akal. Aku ini hanya manusia." Ucapnya mengikuti apa yang sudah aku ucapkan tadi. 

"Baiklah kalau kau memang merasa sangat bersalah. Aku menerima permintaan maafmu dengan 3 permintaan yang kau tawarkan." Ucapku sambil mengulurkan tanganku untuk menjabat tangannya. 

"Baiklah aku juga akan menerima ucapan terimakasihmu dengan 3 permintaan yang kau tawarkan." Ia menjabat tanganku dan tersenyum. Ini sangat langka terjadi. Ini kali pertamanya tersenyum padaku. Biasanya ia hanya memasang muka datar. 

"Sepertinya aku harus pulang sekarang. Aku sudah mengganggu istirahatmu. Cepat sembuh Grace." Lanjutnya lalu melepas jabatan tanganku. 

"Kau mau langsung pulang?" 

"Iya, aku pulang dulu. Cepat sembuh ya." Ucapnya sambil melangkah ke pintu dan menutupnya dari luar. Pria aneh, gumamku.

Me, That Guy, and The Three WishesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang