Lohaaaa ^^
ketemu lagi sama aku... hahaha... bosan, ya? huhuhu...
anyway, ini aku bawain chapter satunya... semoga terhibur di malam Minggu ini, ya...
foto cewek di atas itu imajinasi aku untuk cast Sylvana Handoko... nggak tau kenapa aku suka banget sama cewek itu, hihihii...
untuk Aufar di chapter berikutnya, ya, ohohoho :P
Sylvana Handoko tidak bersuara barang sepatah kata pun.
Dari balik spion tengah mobil teriosnya, Aufar mengawasi cewek itu dengan tatapan tegas. Setelah menendang ponselnya di ruangan tempat pembunuhan berlangsung dan memeluknya dengan erat, raut wajah ketakutan milik Sylvana itu terus menghantui Aufar. Ada yang cewek itu sembunyikan, Aufar yakin itu. Masalahnya adalah, Sylvana benar-benar tidak mengeluarkan suara apa pun. Ditanya saja, cewek itu tidak menjawab. Pandangannya kosong dan raut wajah ketakutan itu senantiasa bertengger manis pada diri cewek tersebut.
"Kalau lo nggak keberatan," kata Aufar seraya melirik ke arah Sylvana yang duduk di kursi belakang—lagi. "Gue akan menggunakan bahasa non-formal sama lo. Seperti sekarang ini. Bukan lagi bahasa 'aku-kamu' seperti yang gue lakukan di awal. Biar kita bisa lebih akrab, mungkin? Is it ok with you?"
Masih sama, cewek itu masih tidak ingin bersuara. Aufar menarik napas panjang dan mencoba mengerti. Mungkin, kejadian pembunuhan ini masih memberikan efek samping untuk Sylvana. Mungkin, cewek itu masih bersedih dan terpuruk karena kehilangan semua anggota keluarganya. Mungkin, cewek itu masih ketakutan setengah mati karena melihat anggota keluarganya dibantai tepat di depan mata.
Aufar tidak tahu harus membawa Sylvana ke mana, karenanya dia membawa cewek itu ke apartemen miliknya. Di sana, dia tinggal bersama sang kembaran, Aulia. Orangtuanya ada di daerah Barat kota Jakarta, sementara dia dan Aulia ada di daerah Selatan. Sang kembaran, Aulia, lebih memilih menghabiskan waktu di apartemen dan tempat-tempat penuh inspirasi lainnya untuk mendapatkan bahan tulisan. Dia lebih memilih untuk menulis novel daripada mencari pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya semasa kuliah dulu.
"Kita udah sampai," ucap Aufar sambil mematikan mesin. Dia membuka pintu, turun, kemudian membuka pintu belakang untuk menyuruh Sylvana ke luar. Cowok itu mengulurkan tangan kanannya dan tersenyum. Senyum menenangkan yang sama, seperti yang dia berikan untuk Sylvana di awal pertemuan mereka tadi.
Sylvana masih mematung di tempatnya. Dia menunduk, menatap uluran tangan besar milik Aufar. Hatinya ragu dan diselimuti ketakutan. Walaupun dia tahu bahwa Aufar adalah seorang jaksa penuntut umum, orang yang akan menangkap pelaku pembunuhan keluarganya dan menjebloskannya ke dalam penjara, tapi, dia tetap tidak bisa. Ternyata, ketakutan itu benar-benar sudah mendarah-daging padanya.
"Sylvana, dengarin gue," kata Aufar lagi. Cowok itu membungkukkan tubuhnya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Sylvana yang masih menunduk dan duduk di dalam mobil. Bahkan, senyuman Aufar masih setia bertengger di bibirnya yang tipis. "Gue bukan orang jahat. Gue udah jelasin, kan, kalau gue seorang jaksa? Lo bisa tinggal sementara waktu di apartemen gue. Di sana, ada saudara kembar gue. Namanya Aulia. Lo bisa berteman sama dia, mengobrol dan lain sebagainya. Kalau lo udah tenang dan mulai berpikir untuk mencari tempat tinggal, gue akan mencarikan rumah kontrakan untuk lo."
Ucapan tulus itu membuat kepala Sylvana terangkat. Dia bertatapan dengan Aufar. Sorot kelembutan dan ketulusan itu benar-benar nyata, bukan sekedar tipuan. Meskipun masih sedikit ragu dengan kebaikan dan ketulusan Aufar, toh Sylvana memutuskan untuk tersenyum juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bring Me To Life
RomanceTadinya, kami tidak saling mengenal. Lalu, peristiwa sadis itu membawanya kepadaku. Menjadi seseorang yang harus kulindungi dan kujaga mati-matian. Kemudian, dia justru menjadi bagian penting di hatiku. -Aufar-