"What the fuck is this?"
Aku mendengar ia mengumpat cukup keras. Kertas ilustrasi buatanku di genggamannya ia pamerkan di depan wajahku yang melongo sedetik. Mataku mengerjap beberapa kali ketika ia menggoyang-goyangkan kertasnya di hadapanku.
"Punyamu?" pertanyaannya membuyarkan lamunanku seperti bola bilyar yang disodok dalam satu hentakan. Buru-buru aku merebutnya, mengabaikan ekspresi jengah yang terlihat sekilas di wajahnya. "Kenapa melihat saya seperti itu?"
Sebelah alisku tertarik ke atas. Pikiranku sedikit kehilangan akal sehatnya sejak semalam. Ada yang aneh seolah merasuki diriku, seakan-akan aku sedang tak menempati dunia pada mulanya. Aku menghela napas panjang menggali konsentrasi lebih dalam agar tak lambat diajak berinteraksi.
"Sori," hanya satu kata yang terlontar sedikit terbata dari mulutku. Pikiranku terbagi antara dirinya dengan sosok di dalam bayangan abu-abu yang kemarin mampir di sebuah ruang tergelap pikiranku.
Omong-omong, mengapa aku harus meminta maaf? Aku tak salah.
Tak ada tambahan lagi darinya. Ia ngeloyor begitu saja sembari merapikan kerah kemeja panjang hitamnya dan meninggalkan aroma wewangian di udara, menggelitik hidungku. Aku terdiam sejenak berusaha mengenali aroma ini. Ya ampun, Agni. Sekiranya ada sejuta pria yang menggunakan merek yang sama. Aku menyepakati setengah diriku yang waras dan mencoba memukul kepalaku agar pikiranku kembali normal. Lantaran tak ada janji dengan Pak Narayana, aku memutuskan kembali ke kos Mayang dan melanjutkan tidurku yang sempat terinterupsi.
Sejujurnya kukatakan padamu bahwa aku benci instansi pendidikan. Aku benci sekolah. Kebebasan mutlak adalah tujuan utama hidupku. Aku tidak senang orang-orang bertepuk tangan hanya pada seorang siswa yang dianggap pandai dengan nilai tertinggi dan mengabaikan siswa pendiam yang sebetulnya memiliki bakat. Apa? Ya, aku berbicara tentang diriku sendiri.
Kalau dibilang cupu, tidak juga. Orang-orang menganggapku malas belajar. Di kelas hanya tidur dan menggambar kartun yang tidak jelas. Otak kiriku sungguh payah. Bahkan aku sempat berpikir Tuhan tidak menganugerahi otak kiri. Hitung-menghitung bukanlah kelebihanku. Kalau ada orang yang mengarahkan telunjuknya ke arah hidungku ketika ditanyai siapa kiranya siswi yang kerap tertidur di kelas, aku seharusnya menampik. Sebab mereka melakukan itu hanya di jam-jam eksak.
Kos Mayang ramai dengan suara menggelegar. Tubuh kecil Mayang tertutupi tubuh tambun seorang wanita yang rambutnya digelung di mana-mana, bertolak pinggang, dan mengenakan daster panjang kedodoran yang gagal menutupi lemak-lemak menggelambir di tubuhnya. Aku melongokkan kepala melihat Mayang yang memberiku kode dengan tangan dan pelototan mata, memintaku tak datang mendekat dan kabur saja. Aku mengerutkan dahi tidak sependapat. Seperti onggokan daging yang dilempar ke dalam kandang singa, aku muncul dengan polos dan memasang wajah tanpa dosa.
"Hai..." sapaku sumringah.
Wanita berbadan badak itu membalikkan badan. Nyaris saja jantungku melompat, lari terbirit-birit dari dalam rongga dadaku begitu bersitatap dengan wajah didempul masker putih dengan mata memelotot seperti boneka setan. Aku praktis mengkerut menjadi potongan mikroskopik.
"Siapa kamu?!" ia berteriak keras. Ludahnya muncrat di wajahku, membuatku spontan memejamkan mata dan menyentak kepala ke belakang.
"Eh ini..."
"Nama saya Agni," aku memotong penjelasan Mayang. "Saya numpang nginep di sini, Budhe."
"Budhe?!" muncratan lain menyerang sekali lagi. "Emangnya saya ini kawin sama Pakdhemu?! Panggil Nyonya!"
Ia bercanda?
"Nyonya." Aku mengangguk saja.
"Kamu bilang numpang nginep di sini? Kamu kira ini kos-kosan mbuahmu! Di sini kalau mau tinggal harus bayar!"
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMSARA (ON HOLD)
Ficción históricaTidak tahan dengan kediktatoran ibunya membuat Agnia Zarathustra memilih kabur dari rumah dan melempar dirinya untuk melanjutkan studi magister di Ilmu Susastra hanya untuk bertemu dengan ayahnya yang bekerja sebagai dosen di sana, meskipun ia tidak...