Prolog

101 8 0
                                    

Delapan tahun yang lalu...

Sore ini, di sebuah taman. Seorang anak perempuan sedang duduk di kursi taman yang berada disana. Ia kelihatan sedang menunggu seseorang. Anak perempuan itu menganyun-ayunkan kakinya dan bersenandung kecil.

Tiba-tiba, seorang anak laki-laki datang dari arah belakang dan tersenyum melihat anak perempuan itu. Ia pun segera menghampiri anak perempuan itu.

"Hai, Nasya." sapa anak laki-laki itu kepada anak perempuan yang sedang duduk di kursi taman itu.

Anak perempuan itu pun menengok ke arah anak laki-laki itu sambil tersenyum manis.

"Hai juga kak Vano."

Anak laki-laki itu pun duduk di sebelah anak perempuan itu. Lalu membelai halus kepala anak perempuan itu.

"Sya, kamu udah dari tadi disini?" tanya anak laki-laki itu.

"Lumayan sih, kak."

"Sorry ya, tadi soalnya mama aku nyuruh aku ke supermarket depan, buat beli bahan masakan."

"Iya, nggak papa kok, kak. Santai aja." ucap anak perempuan itu sambil tersenyum.

Entah apa yang membuat senyuman anak perempuan itu begitu hangat dan nyaman untuk dilihat. Begitu juga dengan anak laki-laki itu yang melihatnya. Ia selalu terpesona melihat senyuman dari anak perempuan itu. Ia seakan terhipnotis ketika melihat senyuman anak perempuan itu. Dan itu akan selalu menjadi senyuman favorit baginya. Dan tanpa di pungkiri lagi, karena senyuman itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Darahnya seakan berdesir ketika melihat senyuman itu. Hanya karena senyuman itu, ia dapat menyimpulkan bahwa perasaan yang ia rasakan, bukan rasa sayang kakak kepada adiknya. Melainkan perasaan seorang anak laki-laki kepada seorang anak perempuan. Ya, ia mencintai anak perempuan itu. Walaupun umurnya yang masih terbilang sangat muda untuk menyimpulkan apa itu cinta, tapi ia yakin bahwa perasaannya ini memang tulus.

"Kak Vano..."

"Ya?"

"Ada yang mau aku omongin sama kak Vano. Tapi kak Vano harus janji sama Nasya, kalo kak Vano nggak akan marah sama Nasya ya?"

Anak laki-laki itu pun mengerutkan dahinya tak mengerti.

"A-aku...harus pergi, kak." ucap anak perempuan itu lirih.

Seketika tubuh anak laki-laki itu menegang. Ia belum bisa mencerna apa yang dikatakan oleh anak perempuan itu.

"Ma-maksud kamu apa? Kamu mau ninggalin aku?" tanya anak laki-laki itu yang sudah bisa mencerna apa yang di katakan oleh anak perempuan itu.

"I-iya, kak." jawab anak perempuan itu sambil menundukkan kepala.

"Emangnya kamu mau kemana?"

"Aku juga nggak tau, kak. Papa aku baru bilang kemarin sama aku. Kata papa aku, dia ditugaskan buat pindah ke luar kota."

"Trus, kapan kamu pergi?"

"Besok pagi, kak."

"Jadi, ini pertemuan terakhir kita?"

"Iya, kak Vano. Tapi aku janji kok, kak. Aku pasti bakal balik lagi. Kak Vano mau nungguin aku, kan?" tanya anak perempuan itu.

"Iya, kamu tenang aja. Aku bakal nungguin kamu kok." jawab anak laki-laki itu sambil tersenyum. Walaupun senyum itu terlihat sedih, namun itu tulus ia berikan.

"Kalo gitu, aku pergi ya, kak. Jaga diri kak Vano baik-baik." ucap anak perempuan itu sambil memeluk anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu pun langsung membalas pelukan anak perempuan itu. Anak perempuan itu pun menangis dalam pelukannya. Tanpa disadari air mata anak laki-laki itu pun jatuh begitu saja. Dadanya sesak. Seperti beribu-ribu bahkan berjuta-juta duri menusuk-nusuk dadanya. Ia tidak menyangka akan berpisah dengan orang yang sangat ia sayangi. Orang yang ia cintai. Ia pun mencium puncak kepala anak perempuan itu. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Akhirnya, mereka pun melepaskan pelukan itu. Walau berat, tapi harus.

"Kamu juga baik-baik, ya. Jaga diri kamu. Karena aku udah nggak mungkin lagi bisa jagain kamu." ucap anak laki-laki itu, sambil menghapus air mata anak perempuan itu dengan ibu jarinya. Lalu mencium dahi anak perempuan itu begitu lama. Lalu melepaskannya.

"Selamat tinggal, Nasya."

"Selamat tinggal, kak Vano." ucap anak  perempuan itu. Lalu mencium pipi anak laki-laki itu. Seketika anak laki-laki itu menegang. Kemudian, dia tersenyum. Anak perempuan itu pun langsung melepaskannya dan langsung pergi meninggalkannya. Anak laki-laki itu pun melihat punggung anak perempuan itu yang sudah semakin menjauh. Punggung yang tidak dapat lagi ia lihat, tawa, dan senyuman yang tidak akan ia lihat lagi setiap hari yang membuat hari-harinya berwarna. Tidak akan. Tidak akan pernah. Ia hanya bisa menunggu.

"Aku akan nunggu kamu, sya. Cepat kembali, ya." ucapnya lalu tersenyum.

Sejak saat itu, anak perempuan itu tidak terlihat lagi. Dan anak laki-laki itu tetap menjalani hari-harinya tanpa anak perempuan itu. Ia percaya bahwa anak perempuan itu akan kembali dan ia akan menunggunya. Ia berjanji.

****

Hai, ini cerita gue yang baru. Tapi cerita gue yang "STAY" tetap gue lanjutin kok. Ini cuma pengen bikin aja. Hehe.

Tolong minta votes dan comments-nya ya.

Oh iya yang belum baca cerita gue "STAY" baca ya.

Ok see you..:*

IRREPLACEABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang