Disorder

193 18 2
                                    

Kepalaku terasa berputar-putar ketika aku membuka mataku dan sosok yang pertama kali kulihat adalah Sam yang berbaring di bawah kakiku. Setengah tubuhnya terduduk di lantai dan wajahnya menelungkup di atas bantalan sofa. Sofa! Ya ampun, aku baru sadar kalau aku tertidur di atas sofa dan Sam ada disini, masih tertidur.

Aku masih termenung sejenak mencoba mengingat apa yang terjadi semalaman. Vas yang pecah, jeritan penuh amarah, airmata mengalir, kehangatan tubuh Sam saat dia memelukku, hal-hal itu bergantian terputar kembali dalam ingatanku.

"Kau sudah bangun?" Sam mengangkat kepalanya dan aku bisa melihat tampangnya yang masih mengantuk. Jantungku langsung berdegup kencang dan aku menelan ludah.

"Kau disini..semalaman?" Dalam hati aku berharap agar ia menjawab tidak karena hal itu akan sangat memalukan tapi tidak mungkin kalau ia bisa tertidur di sebelah sofa milikku apabila semuanya tidak berawal dari semalam.

"Begitulah" ia mengusap wajahnya beberapa kali lalu menatapku, "Bagaimana perasaanmu?"

"Pernah lebih baik" jawabku sambil menurunkan kakiku ke sisi sofa. Sam beranjak bangun menuju dapur dan mengambilkanku segelas air. Entah darimana ia mengetahui rak penyimpanan gelasku karena tampaknya ia menemukannya dengan mudah.

"Kau mau cerita padaku mengenai apa yang terjadi?" Ia menyodorkan gelas ke depan wajahku dan aku menerimanya dengan senang hati. Setelah beberapa teguk, aku menjawab pertanyaannya, "Bagaimana kalau kau dulu yang mulai bercerita apa yang terjadi"

"Well, aku mendengarmu menjerit-jerit dari kamarku dan aku mencoba memanggilmu, meneleponmu, tapi nihil hingga akhirnya.." ia mengambil satu langkah ke kiri dan menunjuk ke arah pintu depanku yang jebol dan dirapatkan secara asal-asalan.

"Aku menemukanmu sedang terkena serangan panik dan kau terus menangis dan memohon agar aku tidak meninggalkanmu sendirian" Sam mendekatiku dengan hati-hati. "Aku juga tidak bisa membiarkanmu seorang diri dengan pintu rusak dan keadaan seperti itu, jadi aku menemanimu" ia mengambil tempat di sebelahku. Aku tidak bergeser.

"Kau masih terus menangis dan menyebut-nyebut soal Keith sampai akhirnya kau tertidur karena lemas"

Aku melihat tatapannya yang memancarkan kecemasan dan aku merasa sangat kacau hingga aku hampir menangis lagi. "Maaf, aku.." Aku mencoba menjelaskan.

Tiba-tiba Sam meraih kepalaku dan menariknya ke arah dadanya. Aku terkejut dan tidak sempat melawan dan tidak ada niat untuk itu. Aku membiarkannya mendekapku, mendengarkan detak jantungnya yang berdegup kencang, tidak beraturan, seperti irama genderang perang.

"Apa aku menakutimu?"

"Ya. Kau sangat membuatku takut" katanya pelan. Kami tidak bergerak, membeku dalam keadaan. Aku memejamkan mata, mendengar napasnya yang teratur sekaligus liar. "Sam?" Panggilku setengah berbisik. "Ya?" Ia menyahut.

"Apa aku sudah gila?"

Sam mendorong tubuhku pelan hingga mataku bertemu dengan matanya. Ada jeda sesaat. "Kau tidak gila" katanya.

"Kau terdengar sangat yakin" gumamku. Sam tidak menjawab pernyataanku. Kami berdua terdiam dalam keheningan, tangannya beralih kepada jari-jariku, memegangnya begitu erat. Aku tidak menolak, tidak juga membalasanya. Aku mengulangi perkataanku. "Kenapa kau bisa sangat yakin soal itu?"

"Aku tahu" jawabnya tanpa menoleh ke arahku. Suasana kembali menjadi hening. Aku memikirkan betapa lepas kendalinya aku semalam. Dadaku kembali sesak memikirkan sosok Keith yang muncul di hadapanku dan menuduhku. Mungkin Sam benar, mungkin aku terlalu terbebani dengan hal tersebut sampai akhirnya aku kehilangan akal sehatku. Seluruh tubuhku terasa dingin dan aku gemetar. Sam menyadari perubahan suhu tubuhku dan mengelus rambutku.

A'morenesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang