Menapaki Jejak Sang Angon

14 1 0
                                    

Dahulu kala hiduplah seorang penggembala muda yang hidup sebatang kara dan miskin. Setiap hari ia bangun pagi, sebelum matahari terbit. Setelah itu ia langung memeriksa kambingnya. Jika kambingnya masih utuh, ia akan mengucapkan rasa syukur hingga puluhan kali.
"Terima kasih ya Tuhan, Engkau telah menjaga dan membisiki kambingku agar tak lari".
Kemudian sebagai perwujudan syukurnya, ia akan duduk sambil menengadahkan kepalanya ke langit. Rasa haru yang teramat dalam terpancar di wajahnya. Ia memang sedang bersyukur.
Setelah itu ia menatap kambingnya satu persatu. Ditatapnya tajam. Mencoba meyakinkan diri tidak ada yang aneh di mata kambing-kambing itu.
"Syukurlah, kalian masih kambing yang sama. Aku takut ada roh jahat yang sudah merasuki kalian di malam hari. Sekarang aku yakin, kalian tidak dirasuki mereka. Karena itu, hari ini aku harus memberikan rumput terbaik untuk kalian."
Penggembala itu tersenyum. Ia merasa bahagia. Begitu yang terjadi setiap pagi. Tetapi pernah suatu kali ia merasakan tatapan aneh salah satu kambingnya. Ia yakin bahwa yang menatapnya bukan si kambing, tapi roh jahat yang telah merasuki jiwa kambing.
Saat itu juga ia akan mengambil tali, mengikat kambing itu di sebuah pohon dan membiarkannya berteriak-teriak sampai siang hari. Ia tidak memberi makan kambing itu, dibiarkannya kelaparan hingga sore. Namun setiap satu jam diperiksanya kembali mata di kambing, untuk mengetahui apakah roh jahat itu telah pergi. Jika diyakininya telah pergi, maka segera dilepaskan ikatannya.
Hari ini untuk ke sekian ribu kalinya ia merasa bahagia. Diberinya makan kambing-kambing itu sambil bersenandung lagu rohani yang memuji keagungan dan kemurahan Tuhan.
Ia sangat hafal dengan lagu itu, walaupun tak pernah sekalipun ia masuk ke gereja atau ikut kebaktian. Ia hafal karena hampir setiap hari menggembala di samping gereja. Jika kebetulan ada kebaktian di dalam gereja itu, ia akan berlama-lama disitu hingga lagu rohani itu dinyanyikan.
Banyak sekali lagu rohani yang telah ia dengar. Tapi tak satupun yang menarik hatinya. Karena itu ia tidak pernah pergi ke gereja. Tetapi saat lagu itu dinyanyikan, ia tertegun, tiba-tiba jiwanya merasa hampa, kosong, tapi setelah itu merasa sangat bergirah. Ia sering menyebutnya sebagai keajaiban yang memabukkan.
"Ternyata Tuhan juga mengerti tentang keindahan. Tak seperti yang kupikir sebelumnya."
Kidung itu baginya selaksa menatap gadis perawan desa sebelah yang cantik itu. Ia sering menatapnya secara sembunyi-sembunyi. Seperti sebuah porselen cina yang dibentuk dengan komposisi yang sempurna, dan porselen itu diletakkan di ruangan yang kumuh. Terlalu mencolok. Dan sukar baginya untuk mengalihkan tatatapn matanya dari sosok gadis itu.
Tapi ia tahu diri, dengan segala bentuk kemewahan yang gadis itu punya, pasti ia dianggapnya tak lebih dari sampah atau bahkan kotoran. Tapi bagi sang gembala, ia merasa cukup walau hanya dengan menatapnya sejenak. Rasa hausnya terpuaskan saat itu. Namun dahaganya datang lagi keesokan harinya. Ia tahu ia memang mencintai gadis itu. Cinta seperti teh manis bu marni yang sedap. Jika belum minum teh bu marni, sepanjang hari serasa tak bertenaga, lemas dan tak bergairah. Kini, sang gembala sudah memiliki 2 candu. Teh manis bu marni dan gadis itu.
Candu gadis itu lebih dahsyat. Setiap hari semakin hebat rasa hausnya hingga rasa-rasanya lehernya seperti tercekik jika seharian belum menatapnya.
"Aku harus memilikinya." batin sang gembala.
Ia sedang berpikir tentang sebuah cara yang hampir mustahil untuk mendapatkan gadis itu ketika suara-suara kambingnya demikian keras hingga bokongnya langsung terlonjak dari bangku reyot di tanah lapang itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Chapter 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang